PART ONE
4 September 2006
00;12
Kamar ini tampak benar - benar berbeda, ada ranjang putih kecil tanpa bantal atau guling, dan tidak ada lemari atau barang - barang lain yang membuatnya terlihat seperti bentuk sebuah ruangan yang bisa kusebut tempat tinggal. Ini memang bukan tempat tinggal.Ini hanya sebuah kamar. Ini sebuah kamar penentuan. Penentuan tentang bagaimana kelanjutan hidupku nanti. Bisa jadi antara hidup dan mati. Bukan tentang hidup matiku, tapi hidup mati jiwaku. Dan saat ini aku hanya bisa termenung memandang pilu sesosok tubuh manusia yang mengisi lebih dari separuh jiwaku semenjak 22 tahun yang lalu. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak.Selang kecil berisi cairan berwarna merah mengalir melewati hidungnya.Dada kanannya seperti patah masuk ke dalam paru - paru. Nafasnya tersengal – sengal, kadang terhenti kadang datang tak beraturan.
Seperti ada batu yang mengganjal setiap ia menarik nafas. Tubuhnya penuh dengan cairan merah yang mengering terutama di daerah kepala. Cairan merah lain tetap mengalir dengan pelan melalui telinga dan hidung. Membasahi kasur putih menjadi berwarna merah. Aku ingin menyumbat atau menyedot habis cairan itu. Tapi manusia yang berkata bisa mengobati manusia lain dengan prediksi awal tanpa mempunyai ilmu kebatinan itu menyarankan agar aku membiarkan cairan itu keluar sehingga keadaan tubuhnya menjadi lebih baik. Tapi aku tak percaya. Karena semakin aku termenung memandang tubuh seberat 72 kilogram yang penuh dengan darah dan tanpa tenaga itu, semakin aku melihat bahwa tubuh itu seperti tubuh tanpa jiwa. Kosong!
Tiba-tiba manusia berpakaian putih - putih berjalan mendekat dan memanggilku,
" Mba... maaf mengganggu. Apa mba mau dapat penjelasan dari hasil visum bapak?"
Tanyanya sambil menatap mataku. Dengan lunglai aku mengangguk sambil tersenyum.
" Sebentar lagi ya dok, .Aku datang ke ruangan dokter."
Aku berdiri dan mendekati tubuhnya, sambil menahan jatuhnya air mataku aku berbisik,
" pa... aku pergi bentar yah. Tunggu dini bentar. Cepet sembuh yah pa...!"
Lalu aku berjalan ke arah ruangan 4 x 6 meter dan bersiap mendengarkan kemungkinan terburuk yang akan diucapkan oleh seorang manusia yang bisa menyelamatkan hidup papaku. Pintu itu kudorong perlahan, lalu pria setengah baya berpakaian putih dengan rambut yang tinggal setengah lagi menutupi batok kepalanya berkata dengan nada datar,
" Silahkan Mba dini. Duduk dulu."
Aku hanya tersenyum dan langsung duduk.
" Ada apa dok? Tolong dokter jujur aja. Saya pengen tau sedetil - detilnya soal kondisi papa."
Dokter pun mulai mengeluarkan lembar - lembar kertas hitam dan putih.
Lalu ia mulai menjelaskan,
" Begini mba. Kondisi papa anda memang tidak baik."
" Maksud dokter? Tolong diperjelas! Tidak apa - apa dok! Saya kuat koq!"
Sahutku sengit. Dokter menghela nafas dan berkata,
" Maaf mba dini kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk membantu, tapi papa mba dini memang dalam kondisi kritis. Tulang rusuk kanan pada dada patah dari tulang rusuk ke dua hingga ke sembilan dan yang membuat parah adalah pada bagian kepala."
Aku menunduk lesu,
" Memang kepala papa saya kenapa dok?"
Dengan hati - hati dokter berusaha menjelaskan,
" Begini.. papa kepala mba dini penuh dengan cairan kental pada pelipis dan kepala belakang kiri, ini bisa diangkat dengan jalan operasi. Tapi ....tulang otak bawah kepala bagian kanan yang retak susah kami sembuhkan. Karena darah sudah masuk dan mengalir ke dalam otak. Jadi.... "
" Maksud dokter papaku .....? "
Air mataku sudah membasahi pipi.
“ Begini mba … lebih baik mba dini tabah, bapak memang…. “
“ Maksud dokter? Jangan buat saya jadi tambah bingung dong dok! “
Aku bertambah sengit. Seperti dalam sebuah peperangan besar. Antara kegalauan hatiku dan kecemasan jiwaku. Dalam hatiku rasanya bergejolak seperti gunung api yang akan meletus. Aku benar – benar ingin berteriak…
“Begini mba, bapak memang dalam keadaan koma! Tapi mba harus yakin kalau kami akan berbuat yang terbaik.”
Dokter berusaha menenangkan hatiku.
“Terima kasih dok,.. tapi kalau boleh saya tau… Apa yang membuat kecemasan dokter terhadap kondisi papa?
” Begini mba. Bisa dikatakan kalau kondisi bapak dalam keadaan koma.”
Dokter memandang mataku dan kembali menjelaskan.
”Bapak mengalami patah tulang rusuk dan kerusakan pada otak karena darah yang menggenang. Ini bisa diakibatkan karena pertolongan yang terlambat atau benturan yang terlampau keras.”
”Lalu dok, bagaimana jalan terbaik?”
”Mungkin saat ini jalan terbaik hanyalah menunggu.”
”Mengapa dok?”
”Begini mba. Kita melihat dulu kondisi terbaik pada tubuh bapak. Jika memungkinkan kami akan melakukan operasi. Tapi sebaiknya mba dini banyak berdoa. Berserahlah pada Yang Maha Kuasa. Semoga diberi mujisat.”
”terima kasih dok. Jika ada perkembangan mohon saya segera diberi tau.”
”Pasti.”
Dokter berdiri dan menjabat tanganku. Berusaha memberi kekuatan agar aku bisa lebih tabah dan tidak menyerah akan keadaan.Langkahku lunglai kembali ke ruangan itu. Aku kembali duduk dan memandang tubuh papa. Berharap dan menutup mata. Aku berusaha meminta dan memohon mujizat. Tiba – tiba ...
”huek..... huek........”
Tubuh papa setengah terbangun dan terkejang – kejang. Papa memuntahkan darah segar. Dengan cepat aku mendekati papa sambil berteriak.
”Doookkkkktteerrrrrr!!!!!!!!”
”Doookttterrrrr... tolongggggg papa!!!!!”
Beberapa dokter dan suster mengelilingiku dan papa. Aku tetap memegang erat tangannya. Matanya sempat terbuka dan memandangku. Hanya beberapa saat. Aku bisa merasakan rasa sakit yang ia derita. Tanpa sempat melakukan apapun lagi, tangan salah satu dokter telah menarikku dan berkata,
” Mba... biar dokter yang menangani, sebaiknya mba dini...”
” Tapi dok... saya ingin di dalam. Saya mohon.”
“ Baiklah, tapi bajunya dibersihkan atau diganti ya?”
Aku melihat kaus putih dan celana pendekku kini telah berubah menjadi dua warna. Merah dan putih. Tapi aku tidak perduli. Aku hanya peduli jika papa kembali membuka mata dan memandangku. Paling tidak aku tau ia masih ada dalam tubuh yang terlihat kosong tanpa jiwa...
“ YA TuHAN.....!!!!”
“ Kumohon.... Tolong Aku...!”
(Maafkan Aku papa tanganku tak cukup kuat menopang beban pundakmu...)
----------------------------------------------------------------------------------------------
PART TWO
12 September 2006
16:08
Aku terdiam tanpa harapan. Jiwa terasa melayang dan tak ingin kembali. Aku tak pernah bisa menerima keadaan. Mengapa? Apa yang kini telah terjadi? Apa salahku? Apa dosaku terlalu besar untuk dimaafkan? Semua pertanyaan itu aku tak pernah bisa temukan jawabannya. Dan aku hanya bisa menyalahkan diriku yang terlalu banyak menghabiskan waktu karena kebodohan dan keegoisan. Mengapa aku tak pernah berusaha membahagiakan hati tubuh lelaki yang kini tak lagi bergerak semenjak aku lahir dulu. Aku terlalu mengecewakan hatinya. Aku hanya bisa menyusahkan hidupnya. Berbicara saja sekarang tak bisa, bahkan bernafas saja dibantu oleh alat pernafasan dan….
“ din… dipanggil ke ruangan dokter…”
“ Kenapa tante?”
Aku hanya bisa melihat sosok tubuhnya dari kaca yang tanpa bisa menyentuhnya setiap saat. Ruangan itu tidak bisa ditunggu oleh keluarga. Hanya ada dokter. Dan keluarga hanya bisa masuk lima belas menit. Itupun dengan memakai alat – alat seperti seorang dan harus mencuci tangan agar tetap higienis. Andai saja kaca ini bisa kuhilangkan dan bisa menyentuh tubuh dan merawatmu papa..
“ Dipanggil ke ruangan dokter… ayo nae sana…”
“ …………………………….. “
Adik papaku hanya tersenyum dan menghapus air matanya. Ia berusaha untuk menguatkan. Tapi entah mengapa aku melihat air matanya menggenang dan mungkin akan membasahi daratan di tempat aku berjalan. Aku merasa demikian karena saat aku berjalan ke ruang icu dan menuju ruangan dokter aku melihat tidak ada lantai untuk diinjak. Kakiku seperti berjalan di atas air karena aku lihat lantai rumah sakit penuh dengan air sampai mata kaki. Entah air mataku atau air mata keluarga lain yang berharap kesembuhan dari keluarganya. Aku tak mengerti.
“ ……… permisi dok…”
“ Silahkan…. masuk mba….”
“ Dokter manggil saya, dok?”
“ Oh.. Mba dini. Ia mba… silahkan duduk.”
“ Gimana keadaan papa saya dok?”
“…. Mmmm… begini mba…”
“ Ada perubahan dok? Apa papa saya membaik atau…”
“ Begini setelah operasi di paru – paru untuk mengangkat darah yang menggenang, infeksi karena luka dan lebam yang tergores karena terkena tulang dada yang patah belum membaik.”
“ Lalu dok…?”
Lelaki setengah baya yang memakai pakaian putih ini menarik nafas dan melihatku,
“ Saya memanggil mba kesini karena menandatangani resep obat yang harus diambil. Karena obat ini paling tidak bisa membuat infeksi di paru – paru papa anda akan mulai menghilang.”
“ Lalu bagaimana dengan perdarahan di otak papa saya dok?”
“ Dokter belum bisa mengambil operasi karena kesadaran papa anda masih minimal… itu akan mengambil resiko yang sangat tinggi.”
“ Menurut dokter apa yang terbaik.. Itu adalah hal terbaik untuk menyembuhkan papa saya dok.”
“ Banyak berdoa mba… mungkin saja bisa membantu meringankan beban anda.”
“ Terima kasih dok. Kalau sesuatu terjadi.. Tolong beritahu saya.”
“ Pasti mba dini…”
“ Permisi dok…”
Manusia yang selalu berusaha tersenyum dan menguatkan hatiku dengan pakaian putih itu hanya tersenyum melihatku berjalan menunduk meninggalkan ruangannya. Aku kembali berjalan melewati lorong di rumah sakit ini. Tanpa aku sadari. Sudah hampir sembilan hari aku selalu melewati hari – hariku disini. Aku hanya bisa, memegang tangannya, melihatnya dari kaca, duduk, makan, dan berdoa. Entah apa yang aku bisa lakukan agar papa kembali dan memaafkan semua kesalahanku. Aku hanya bisa memohon, aku hanya bisa berdoa agar Tuhan bisa mengampuni semua dosa – dosaku dan mengembalikan papa padaku. Andai saja waktu bisa kuulang kembali. Maka aku akan memilih untuk membahagiakan papa. Bukan hanya mengecewakannya dan membuatnya menderita karena kebodohanku dan keegoisanku sendiri. Andai saja paling tidak aku bisa meminta maaf pada papa dan memohon papa agar kembali menjagaku dan menyayangiku lagi. Andai saja rasa sesalku tidak datang belakangan. Dalam kesendirian dan kegelapan aku selalu berdoa,
”Ya Tuhan… Kumohon Tolonglah Sembuhkan Papaku..BIsakah kutukarkan jiwaku agar bisa menyadarkan dan menyembuhkan papa? “
Saat aku menutup mata, saat aku berusaha menguatkan hati. Saat dungin menusuk tulang kakiku…
“ Din… “
“……………….”
“ Dini……… Ngapain kamu disini?”
“ … ngga ngapain…”
“…………………………”
Adik papaku hanya bisa termenung melihatku duduk sendiri di bawah pohon dan hanya ditemani kegelapan.
“ Dari mana tante?”
“ Habis makan… Kamu ngga makan?”
“ Udah malem gini tante….”
” Makan dulu sana…”
” Besok aja deh tante….”
“ Kamu belom makan seharian, gimana kamu bisa jagain papamu kalo kamu sendiri sakit?”
“ Ya Tante.. Tar an aja.”
“ Udah malem gini, din”
“ Tar an aja tante….!”
“ Tu khan bandelmu kambuh lagi….!”
Aku hanya menunduk dan berjalan meninggalkan tanteku. Rasanya lebih baik aku melihat papa dan bertanya pada dokter yang menjaga, apa aku bisa masuk ke ICU dan berbicara dengannya. Makan hanya terasa lebih nyaman kalau aku melihat kesembuhan papa. Akhirnya aku berjalan melewati lorong itu lagi. Aku berharap aku bisa menemui papa sebelum malam mulai semakin larut. Aku harap aku bisa berbicara dengan papa sebelum aku tertidur dan menutup mataku.
“ Permisi dok…..”
“ Ada apa mba?”
“ Apa saya boleh masuk ke ruangan dan melihat papa lagi?”
Lelaki setengah baya ini hanya kaget dan melihatku seperti hantu.
“ Bukannya tadi sudah mba?”
“ Saya mohon dok…”
” …………………..”
“ Saya janji gak akan lama, saya mohon.”
“ Begini aja mba.. boleh saja mba masuk tapi jangan lebih dari 15 menit ya? Karena setelah itu kami akan memberikan obat.”
“ Terima kasih dok….”
“ Silahkan mba…”
Lalu aku mencuci tangan dengan sabun khusus, mengambil selop tangan, muka dan memakai baju dokter. Dokter lalu melihatku bersih dan sudah memakai peraturan masuk ke ICU. Lalu ia membuka pintu dan akhirnya aku masuk di ruangan bersih, dingin dan cukup mengerikan itu. Ada beberapa dokter dan beberapa manusia yang umumnya belum sadar. Mereka hidup tapi tanpa reaksi dan mungkin lelah akan kehidupan. Malah kadang aku melihat mereka tanpa nyawa. Ada tujuh manusia yang penuh dengan selang dan alat bantu nafas, muka mereka pucat dan mereka seperti tidur dengan lelap. Semakin aku berjalan menuju tempat tidur papa, setiap manusia yang aku lewati selalu aku perhatikan. Hatiku sedih, dan mulai bertanya. JIka ada kehidupan mengapa saat melihat mereka tergeletak tanpa reaksi dan berjuang dengan kematian aku juga merasakan kepedihannya. Entahlah… Aku tak mengerti.
“ Mba maaf ya… Jangan lewat dari lima belas menit.”
“ Iya dok…”
Aku hanya menunduk dan memegang tangan papa. Tangannya begitu dingin. Ada empat selang yang masuk ke tubuhnya. Alat bantu pernafasan juga terdengar begitu menyakitkan. Aku hanya bisa memegang tangannya dan mulai berbicara perlahan.
“ Pa..maafin din ya. Din selalu nyusahin papa dari dulu. Papa sadar ya pa. Cepet sembuh. Din gak bisa hidup disini gak ada papa.”
Papa tetap terdiam dan tidak ada reaksi. Air mataku sudah membasahi pipi. Aku hanya bisa berharap saat aku berbicara dengannya beliau akan membuka mata dan kembali berbicara. Tapi entahlah itu tak pernah terjadi. Air mataku menetes dan membasahi tangan papa yang aku pegang. Saat itu aku melihat papa tersenyum dan begitu lelah. Entah karena kehidupan yang begitu menyedihkan atau hal yang lain aku tak mengerti.
“ Pa… kalau papa denger. Din ngerti papa marah. Din selalu ngecewain papa. Tapi din rela, kalau papa milih jalan ninggalin din. Din selalu berdoa agar papa cepet sembuh. Tapi kalau Ida Sang Hyang Widi menentukan kalau papa harus pergi. Din rela pa. Asal itu jalan terbaik papa.. Din rela. Biarpun din gak punya saudara. Din yakin papa akan selalu ada untuk din. Papa denger pa….? ”
Suaraku parau. Air mataku semakin membasahi tangan yang aku peluk. Tiba – tiba jari papa bergerak dan mengagetkanku. Suara alat bantu pernafasan juga berbeda. Terdengar bunyi nyaring. Lalu dua dokter datang dan menarikku keluar. Aku semakin takut dan takut… Lalu aku berjalan menunggu di luar menunggu dokter datang dan menjelaskan.
“ Dok… tadi papa kenapa dok?”
“ Maaf mba… tadi hanya ada reaksi dari otak.”
“ Apa papa sadar?”
” Belum mba…. Mungkin tadi hanya reaksi dari perdarahan di kepala.”
“ …………..”
“ Sebaiknya mba keluar dan istirahat, mba masih bisa datang lagi besok pagi.”
” Terima kasih dok… permisi.”
Lalu aku mengembalikan semua perlengkapan masuk icu dan mencuci tangan. Setelah itu aku kembali berjalan melewati lorong dan kembali di tempat semua keluargaku menunggu. Aku tak perduli semua keluargaku saat itu. Aku hanya ingin tidur dan berharap saat aku bangun esok pagi, papa akan sadar dan kembali sembuh. Walau aku tiduk di kursi, walau tanpa selimut. Aku ingin mentari pagi cepat datang karena aku merasa hangat dan bisa tidur nyenyak saat aku mengigat papa ada di dekatku.
--------------------------------------------------------------------------------------
13 September 2006
03:15
“ Panggilan kepada Dini dan keluarga diharap datang ke ICU.”
“ Sekali lagi Dini dan keluarga diharap datang ke ICU secepatnya.”
Aku terkaget dan langsung berlari menuju ICU. Subuh yang mengagetkan. Aku berlari dalam kegelapan. Aku tak peduli keluargaku yang lain. Walaupun mereka juga ikut berlari menuju ICU. Sampai di depan ICU aku mendorong pintu masuk dan langsung mencari dokter. Aku berfikir kalau papa sadar dan memanggil namaku. Aku merasa papa sadar dan…
“ Maaf dok… Apa dokter memanggil saya, ada apa dok? Apa papa sadar?”
“ Begini mba… sebaiknya mba dini duduk dulu.”
“ Maaf dok.. ada apa dokter memanggil saya?”
Beberapa pria dan wanita berpakaian putih memakai selop tangan, dan muka hanya memandangku dan terdiam…
“ Begini kira – kira lima belas menit yang lalu setelah kami berusaha yang terbaik….. Papa anda ….. meninggal dunia.
“ Apa dok..? Maksud dokter?”
“ Perdarahan di otak dan infeksi di paru – paru kanan papa anda tidak bisa kami….. Maka kami mohon maaf. Sekali lagi, kami sudah berusaha yang terbaik….”
Aku hanya bisa terpaku, mendengarkan penjelasan dokter dan menangis. Tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa bergerak dengan benar. Berdiri saja aku tak kuat.Aku hanya melihat sesosok tubuh 72 kilogram tidur dengan tenang, selang sudah terlepas dari tubuhnya. Beliau seperti tertidur pulas. AKu ingin mendekat dan membangunkannya. Tapi aku takut… Aku masih berfikir. Apa ini kenyataan. Atau aku hanya mimpi? Apa yang bisa kulakukan di dunia jika papa pergi dan jauh meninggalkanku? Pada bahu siapa aku bisa bersandar untuk bercerita tentang semua kebodohanku?
(“papa… maafkan segala kesalahanku”)