Story Of Life

Thursday, September 09, 2010

24 Bulan Kenangan dengan Manusia Indah


080910
02;30

Saat cerita ini dibuat pulau dewata dibasahi air hujan semenjak matahari bersinar. Mungkin sama dengan perasaanku. Mendengarkan lagu ini dan mencoba untuk mengingatmu, sesak rasanya dada ini. Tidak ingin mencari kesalahan siapapun. Hanya tarikan nafas dan kenangan yang cukup membuatku sadar apa yang sebenarnya aku inginkan. Saat aku melihat fotomu, saat aku melihat senyummu dan pelukanmu di kulitku. 2 tahun dekat denganmu terhapus dalam semenit rasanya. Aku sadar, aku memang buta, buta karena cinta. Dan aku baru tau, betapa bodohnya aku karena aku tetap mencintaimu.

Sudah hampir dua tahun aku jarang menulis tentang rapuhnya sisa hatiku. Aku rasa bekunya hatiku hampir mencair saat mengenalmu, tapi keadaan saat ini dan kenyataan terlihat dan tertulis berbeda. Aku mulai kembali menggerakkan tanganku yang kaku, mulai mengingat kembali sisa hatiku yang pernah aku berikan untukmu.

Ingatanku kembali ke dua tahun lalu. Saat pertama aku mengenal suaramu lewat telepon bodoh itu. Saat pertama mendengar suaramu dan menasihatimu tentang perasaanmu terhadap orang lain, tidak ada perasaan apapun. Aku mendapatkan nomermu karena seseorang yang gila karena suka padaku. Dan aku tidak ingin gila karena kenanganku denganmu. Aku harus sadar dan kembali ke pijakan kakiku di pulau dewata. Waktu itu hanya ejekan yang terdengar, hanya lelucon yang sering kamu ucapkan. Dan untuk empat bulan pertama hanya tangisan tentang ‘dia’ yang sering aku dengar. Aku hanya ingin kamu kuat dan bisa lebih dewasa. Aku ingin kamu bisa berdiri sendiri. Aku tidak pernah menginginkan apapun kecuali melihatmu tersenyum. Dan saat bulan mulai berjalan, saat aku terbiasa mengenal ejekanmu dan tau tentang cintamu pada ‘dia’ aku mulai perduli padamu. Aku mulai mengkhawatirkanmu, dengan segala keberanianku aku memutuskan untuk datang melihatmu.

Saat itu aku tidak ada uang cukup banyak, cukup lama aku mengumpulkan uang di pekerjaan yang baru agar bisa ke daerahmu, sendiri, pertama kali, tanpa siapapun dengan pesawat. Entah apa yang menjadi keputusanku. Dalam pikiranku hanya satu, aku akan menyesal kalau tidak bisa bertemu orang yang aku sayang tanpa aku melihat dengan jelas mukanya. Saat pertama melihatmu. Dadaku berdegup kencang, ya tuhan…. Hanya syukur dan rasa terima kasihku pada tuhan yang bisa terucap. Paling tidak aku bisa bertemu denganmu dan melihatmu. Syukur selalu terucap di mobil, di saat hujan dan saat berdiri di depanmu dan berbicara padamu. “terima kasih tuhan, kau ijinkan aku bertemu dengan manusia seindah ini.”

Waktu mulai terus berjalan, keadaan semakin berubah. Hatiku semakin mencintaimu dan aku semakin menutupi keadaan keuanganku, rapuhnya keluargaku, hancurnya hatiku karena meninggalnya papa aku tidak ingin menceritakan semua hal buruk yang terjadi padaku di depanmu. Aku terlalu menempatkanmu sangat tinggi. Yang aku inginkan hanya menyelesaikan masalahku sendiri dan membiarkanmu selalu dalam keadaan bahagia. Karena aku tau kamu sangat polos dan kamu juga rapuh, aku tau semua masalahmu. Masalah seperti itu saja bisa membuatmu menangis bagaimana kalau kamu tau dengan jelas permasalahanku?? Aku tau suatu saat kamu akan pergi dan meninggalkanku. Jikalau kamu tau keadaanku yang sebenarnya, munafik dan mafianya lingkunganku aku takut kamu akan bingung dan sedih memikirkan keadaanku. Di beberapa saat berbohong adalah pilihan terbaikku. Pilihan yang aku pikir akan membuatmu di tempat yang aman dan bahagia ternyata kebalikannya.

Aku lakukan apapun untukmu, aku terima saat kamu jatuh cinta lagi. Aku terima apapun buruknya dirimu. Dan memilih melakukan hal buruk untuk manusia sepolos kamu dan sebaik kamu. Berbohong. Dan kamu tidak bisa menerima beberapa kebohonganku. Padahal kebohongan itu aku lakukan agar selalu bisa dekat denganmu. Dan akhirnya memutuskanku saat aku benar- benar jatuh akan uang. Aku masih mengingat keadaan saat itu. Disaat kebingungan datang melanda kesendirianku. Saat aku benar – benar tidak punya uang dan memilih untuk tetap ada di tempatmu dan mencari kerja dan melunasi semua hutangku dengan bekerja disana. Saat kamu tau dari orang lain tanpa bertanya yang sesungguhnya seperti apa dan memilih untuk membenciku dan meninggalkanku. Aku menyesal aku merasa belum bisa membahagiakanmu. Aku mnyesal aku tidak punya cara untuk bercerita padamu sebenarnya keadaan seperti apa dan hanya menulis permohonan maaf dan terdiam. Aku menyesal melihat mata kebencianmu dan cintaku masih untuk membahagiakanmu. Dan hal ini membuatku semakin giat bekerja dan mencari uang. Tanpa harus mencari cinta. Ternyata cinta bisa terhapus hanya karena masalah uang. Kenangan indah 24 bulan terhapus karena uang yang tidak pernah aku permasalahkan denganmu.

Aku masih sangat mencintaimu, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, tapi untuk bertemu denganmu, mendengar suaramu dan mendengar ceritamu aku lebih memilih tidak. Hanya rasa sakit yang aku rasa. Sesak di dada akan tetap terasa. Aku tidak ingin memilikimu lagi. Aku pernah memberikan segala macam hal untuk cinta, dan saat yang aku punya sudah tidak ada, aku hanya bisa mulai dari awal dan sebaiknya mencintai diri kita sendiri. Aku tidak ingin mencintai manusia lagi. Terlalu menyakitkan. Sebaiknya aku mencintai sisa serpihan hatiku sendiri. Karena cinta terbaik hanya untuk hati kita sendiri. Saat tulisan ini selesai aku buat, kenangan tentangmu manusia akan tetap tersimpan di hatiku. Aku akan selalu mencintaimu. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga manusia lain bisa lebih membahagiakanmu. Tapi kuharap semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sampai jumpa manusia indah.

(fall for you; secondhand serenade lagu ini untukmu manusia indah, my love is always for u)

Monday, August 30, 2010

Perpisahan


Agustus 2010

Cerita tentangmu tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Aku selalu mencintaimu. Entah kamu membenciku,Entah kamu tidak ingin bersamaku lagi, Entah kamu akan jatuh cinta lagi, atau Entah kamu tidak mencintaiku lagi dan akan menikah. Di dalam Hatiku dan jiwaku selalu mencintai kamu.

Kesalahan yang kubuat mungkin menurutmu cukup fatal. Aku hanya ingin menjagamu dan menyelesaikan permasalahanku sendiri. Bukannya tidak menghargaimu. Aku hanya menempatkanmu terlalu tinggi dan tidak ingin melukaimu dengan permasalahanku, Ternyata yang terjadi kebalikannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kamu tetap meninggalkanku dan aku hanya bisa berdoa untukmu.

“Miss u lil bird. Loves u. but I know I have to let u go. Hope u have a great life with full of happiness.”


(heaven's know rick price This Song will always makes me remember you lil bird)

Wednesday, December 17, 2008

Cerita bersama buaya kecil


“MenGEnaL DuNia Ke 2”
Bagian terakhir

140808
00;35


Saat aku kembali merasakan cinta, saat itu pula aku merasakan dunia itu semakin membingungkan. Aku lahir dan ada di dewata. Aku tumbuh di bawah langit dewata. Saat aku kehilangan pelukmu ayah kabut semakin menusuk tulang kakiku. Dan saat aku kehilangan bayanganmu irish, langit runtuh dan jatuh menimpa hatiku. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kamu pergi tanpa menyisakan bayangan untuk dikenang irish? Mengapa Ayah juga tak menyisakan sebuat pesan untuk menyelimuti iman? Apa kata cinta akan membantu? Tidak. Karena kata cinta itu hanya indah di kasat mata. Cinta sebenarnya butuh perbuatan, butuh kerelaan, dan keiklasan. Tapi kata cinta tidak membutuhkan perbuatan, kerelaan atau keiklasan. Hanya butuh senyuman dan ucapan manis sebagai penggoda.
Saat aku merasa rapuh. Saat semua hal sepertinya akan runtuh. Aku mengenal satu insan penuh ucapan menggoda iman. Aku menyebutnya buaya. Aku sudah terlalu banyak menulis tentang buaya ini. Karena aku sudah terpedaya oleh ucapan buaya. Tapi dunia tulisan dan dunia maya lah yang membuat aku mengenal dan menyadari, kalau kata – kata buaya bisa terhapus dan hilang begitu cepat dalam kondisi apapun. Ini hanyalah tulisan buaya bukan kenyataan yang nyata.
Aku terlahir sebagai malaikat tanpa sayap. Aku memilih pendamping hidup. Dan aku mengambil resiko untuk merasakan sambaran petir saat hatiku mulai terpana. Aku membiarkan diriku hancur dan merelakan segala hal, agar yang memiliki hatiku dulu, merasa bahagia. Ini adalah keputusanku saat mulai mengeja kata cinta. Ini keputusanku saat memilih DuNIA KE 2. Tapi aku berbeda dengan si buaya. Buaya ini masih muda. Ia sering meihat senyum di Dunia Ke 2. Ia masih terlalu kecil untuk menolak dan berjalan sendiri di dunia nyata. Ia masih bingung memilih jalan. Ia juga begitu cepat memutuskan segala macam hal. Entah baik, buruk atau keduanya. Ia masih bingung untuk berjalan saat keputusan itu harus ia hadapkan pada kandangnya di dunia nyata. Buaya ini sering tersenyum. Ia sering berkata – kata indah. Tapi ia juga sering menoleh pada penjaganya. Ia pun masih sering meneteskan air mata. Entah apapun alasannya, aku mengerti. Entah apapun keinginan hatinya, itu hanya untuk semata. Saat ia melihat dunia ke 2 tertawa. Ia akan berusaha datang ke dunia itu dan berusaha meninggalkan penjaganya. Aku sangat mengerti dan menyadari. Karena aku pun dulu demikian. Aku pun bingung. Tapi aku sudah memutuskan.
Si buaya tidak tau bagaimana keadaan DuNIa Ke 2. Yang ia tau hanya senyum dan tawa yang terdengar. Ia tidak tau topeng yang banyak terpampang. Ia tidak tau topeng mana yag harus ia pakai setiap ia berjalan atau saat ia makan siang di dunia ke2. Ia tidak tau ada beberapa hal yang bisa begitu mengiris tangan dan hati saat berkunjung ke dunia nyata. Dunia ke2 memang terlihat Indah, tapi juga akan sangat menyakitkan jika kita sadar kita bagian dari dunia nyata. Dalam dunia nyata penjaga bisa kita beritahukan ke penghuni seluruh dunia kalau DIa lah penjaga kita. Tapi saat ada di dunia ke 2. Semuanya sama. Semua mulut dan bibir akan terkunci tanpa gembok yang ada di pintunya. Kita hanya bisa merasakan, tanpa berbicara. Kita hanya bisa membayangkan tanpa merasakan kulit nyata. Semua hal harus bisa kita anggap senyum walau air mata selalu membasahi jiwa. Kita hanya bisa menahan darah di kepala saat kita muak melihat pelukan erat di pasangan jiwa kita saat dipeluk oleh penjaganya di dunia nyata. Kita hanya bisa tersenyum dan melayani saat penjaga dunia nyata kita ingin dilayani. Tak ada kata berontak di dunia nyata. Harus tetap mengikuti. Cinta memang tidak bisa dimiliki di dunia ke2. Hanya bisa dirasakan di dalam dada.
DuNia Ke2 sebaiknya kamu tidak ikuti, buaya kecil.. Semoga ini tidak menjadi pilihannya. Sebaiknya kembalilah ke sangkar dan belajar untuk tertawa. Aku akan tetap Melihat Tidurmu dari DuNia Ke2, buaya kecil. Aku akan tetap tersenyum melihat ia tertawa dengan penjaganya. Aku tetap akan memberikan sisa hatiku padanya. Karena jika aku berharap dan memperjuangkan sebuah tenda di dunia ke 2 untuk tinggal. Itu tidak akan layak. Aku adalah malaikat yang sudah terkoar.Tapi kamu adalah buaya kecil yang masih harus merasakan sinar dunia nyata yang hangat.Kamu masih butuh buaian. Kamu butuh senyuman boneka. Kamu butuh tantangan dari boneka cantik. Tapi aku tidak, aku lelah bermain dengan satu hati. Dan kamu baru menikmati permainan. Penjagamu menunggu, kandangmu membuka pintu untukmu. Berbeda denganku. Aku tidak mempunyai penjaga. Dan kandangku telah hancur. Hanya debu yang tersisa. Hanya dunia ke2 yang selalu menjaga sisa tenaga dan hatiku untuk bernafas.
Dan aku harap si buaya ini juga bisa memutuskan. Keputusan harus tetap diambil sekarang atau saat dunia tenggelam. Dan aku mengharapkan ia bisa memilih merasakan hangatnya pelukan tangan penjaga buaya yang selalu setia menunggunya pulang. Aku memang egois. Karena aku tau ia tidak siap MengenaL DuNia Ke 2. Karena itu aku mengharapkan ia bisa kembali ke sangkar dan tidak berjalan lagi ke seberang jalan. Aku tetap bisa melihatnya. Aku tetap duduk di seberang jalan. Aku tetap akan tersenyum untuknya jika ia membutuhkan senyumku. Aku akan tetap membuat ia tertawa kalau ia ingin tertawa denganku. Apapun ia bisa lakukan. Asal ia tetap berada di sangkar bersama penjaganya. Karena ia belum bisa berjalan keluar. Ia tidak mau, dan tidak kuat. Karena buaya harus tetap ada bersama penjaga di dunia nyata.

Katakan padaku yang sebenarnya kau mau
Agar aku bisa melanjutkan hidupku
Perasaanku merasakan akan ada pisah
Tapi mengapa kau menarik ulur hatiku

(Katakan yang sebenarnya; dewiq; menolongku untuk menyelesaikan cerita ,terima kasih)


(kedewasaan lahir dari rasa sakit, aku menulis karena tangan hatiku berjalan, sebaiknya berhenti bermain dan kembali pulang, buaya kecil. )

Thursday, December 11, 2008

Untukmu buayaku!







081208
24;12

Kata cintamu
Hanya tertulis di dunia maya
Tulisan tanganmu
Membuat hatiku terpana
Manisnya ucapanmu
Membuat pikiranku semakin tergoda

Apa ini yang membuatku gila?
Atau inikah yang membuat pecahan hatiku tertawa?

Jurang sudah ada di depan mata
Tapi aKu hanya melihat nirwana
Hidup di Neraka terasa hidup di dewata
Karena aku terpedaya olehmu buaya!

(aku bersyukur karena mengenalmu dan menaruh pecahan hatiku padamu walau hanya dalam dunia maya)

Cerita bersama buaya kecil

Bagian pertama

031208
08;40

Namanya R, aku tidak tau nama aslinya. Aku mengenalnya di dunia maya. Dunia yang selalu menjadi teman setia untukku. Dan aku harus menyadari. Ini hanya indah di mata dan telinga saat aku ada di dunia maya itu. Saat aku keluar dan melihat matahari ataupun mendung, kenyataan belum tentu sama. Aku tak ingin berharap. Karena ia mempunyai hidup sendiri, dunia nyata yang sendiri dan hati untuk seorang pribadi. Entah mengapa, aku merasa nyaman mendengar ocehan dan cerita yang aku belum aku tau itu nyata atau hanya ucapan manis seorang buaya. Iya, aku mengenal seorang buaya lagi. Buaya yang sedikit mencuri belahan hatiku. Aku menyebutnya buaya kecil. Karena ia menikmati saat menjadi buaya. Ia merasa puas saat boneka cantik mengenalnya dan jatuh hati padanya. Ia pikir ia bisa mengobati luka hatinya terhadap wanita penuh pesona yang pernah mengisi hatinya dulu. Jadi semakin ia menjadi buaya terhadap semua boneka – boneka cantiknya ia selalu bercerita denganku. Dan ia selalu berfikir luka hatinya itu akan hilang. Padahal aku rasa kebalikannya. Entah semua ia ceritakan atau tidak. Aku tak tau. Dan aku juga tidak tau apa aku juga menjadi salah satu boneka cantik koleksinya itu. Entahlah..
Pertama aku mengenal buaya kecil ini di dunia maya. Aku mengenalnya dari seorang teman. Pertama kami dekat, saling bercerita dan mengejek. Saling tertawa dan selalu menertawai. Aku tau wajahnya. Dia pun tau wajahku.Tapi kami belum pernah saling bertemu. Dan sekarang kami menjadi lebih dekat. Sebagai kekasih? Bukan. Hanya serang teman? Juga bukan. Lebih dari itu. Atau hanya TTM? Tidak. Aku sendiri juga bingung untuk menyebutnya. Hubungan apa antara aku dan buaya kecil ini. Tapi aku tak begitu perduli. Karena selama masih bisa mendengar cerita dan tertawanya, itu cukup. Selama masih aku tau dia senang dan baik – baik saja. Walau apapun yang dia buat. Aku juga akan senang. Walau kadang aku ingin memeluk dan ada di dekat buaya kecil ini. Aku rasa aku sudah cukup senang mendengar suara dan melihat tulisannya dalam dunia maya. Karena ia hanya ada di dunia maya. Ia akan cepat hilang dan mencari bidadari atau boneka baru agar memenuhi keinginannya, agar bisa bahagia.
Yang selalu aku ingat adalah, Buaya kecil ini selalu bercerita denganku. Lewat dunia maya, dan telepon. DIa memang banyak bercerita denganku. Tapi hanya tentang pekerjaan, semua boneka cantiknya dan seorang penjaga hidupnya. Tapi dia juga pernah bercerita tentang seorang wanita penuh pesona. Dia jatuh cinta pada wanita itu. Sayangnya wanita itu sudah menjadi milik hati seseorang. Dan wanita itu pernah membuatnya sakit. Sakit hati, badan, dan pikiran. Walau hanya lewat dunia maya. Canggih bukan? Makanya aku menyebut wanita itu, Wanita penuh pesona. BIsa membuat hati, badan dan pikiran buaya kecil ini sakit walau hanya di dunia maya. Dan sampai saat ini pun aku yakin, rasa itu masih ada dalam hati buaya kecil ini.
DASAR BUAYA KECIL!
MASIH JATUH CINTA JUGA KAMU!

(ini hanya bagian pertama, aku masih menunggu dan melihat serta mendengar ceritamu buaya kecil, semoga kamu bisa lebih dewasa dan bahagia)


Bagian kedua

041208
23;45

R semakin berubah setiap detik, kadang ia berbicara manis dengan ucapan penuh bunga, pernah ia bercerita dengan tangis tentang penjaga hidupnya. Kadang ia memujiku. Kadang ia berkata kalau aku teman yang baik untuknya. R sering mengejekku, dan juga sering tertawa denganku.R juga pernah memberitau aku. Kalau ia cepat sekali bosan. Ia tidak bisa diatur dan ia keras kepala. Tapi menurutku selain itu R juga perayu. Ia bisa berkata apapun tanpa berfikir terlebih dahulu. Ia kadang tidak berfikir tentang perasaan dan hati ciptaan tuhan yang ia ajak bicara. Apakah itu bisa melukai ciptaan tuhan itu atau membuat ciptaan tuhan jatuh cinta? Kalau sudah demikian, lalu Buaya tinggalkan begitu saja tanpa satu kecupan?
Ia semakin membuatku bingung. Ada dimanakah aku? Di kepalanya? Agar cepat ia lupakan. Atau hanya dI bibirnya saja? Kenapa aku semakin tenggelam di dalam ucapanmu buaya kecil? Apa yang terjadi padaku? Aku bukanlah malaikat suci. Aku hanya ciptaan tuhan dengan tenaga yang habis dan hati yang telah hancur. Aku masih meniti sayap agar aku bisa terbang kembali mencari ayah yang telah pergi. Agar hatiku bisa utuh kembali. Tapi mengapa saat aku meniti sayap kamu ada dalam jemariku? Aku tak tau, tak ingin tau . Atau aku terlalu cepat bertanya? Atau aku mencoba untuk lupa, kalau kamu ada di dunia maya, bukan di sampingku untuk membentuk serpihan hatiku kembali.
Dan kadang ingin menarik diri. Melupakan dunia maya dan membiarkan kamu dengan semua boneka cantikmu itu. Tapi kupikir sudah terlambat. Aku sudah masuk di kolam buaya. Kakiku sudah basah. Berdiri di tempat yang sama. Aku akan sakit karena badanku basah. Menarik kaki ke pinggir? Jalan untuk kembali sudah kurobohkan dari awal. Jadi, aku memang harus masuk ke dalam dan mencari jalan keluar dari kolam buaya ini. Seberapa dalampun, seberapa dinginpun, aku pasti tahan. Ini memang pilihanku. Selagi aku masih bisa dan ingin. Aku ingin melihat seperti apa sebenarnya yang kamu katakan kalau kamu bahagia buaya kecil? Penjaga seperti apa yang kamu inginkan? Boneka seperti apa yang akan membuatmu tenang? Aku masih menunggu dan mencari jawaban ini.
Ada dua hal yang aku masih pikirkan, pertama saat hari itu. Hari dimana kamu beradu mulut dengan penjaga hatimu. Kamu menceritakannya denganku dengan linangan air mata. Apakah ini cinta? Atau penyesalan? Atau hal lain? Aku tak tau. Dalam pikiranku ciptaan tuhan bisa mengeluarkan air mata karena bahagia, sedih, ditinggalkan atau kecewa. Aku rasa saat itu kamu sedih dan takut untuk meninggalkannya atau akan meninggalkannya. Entahlah… Yang kedua waktu saat kamu menuliskan, tentang salah satu hobi barumu mendapatkan boneka cantik untuk kesenanganmu.Saat kamu bercerita aku masih mencari jawaban sampai saat ini, kenapa ini menjadi kesukaan yang menjadi keharusan bagi setiap buaya untuk menyembuhkan luka di hatinya?

(aku menulis ini sambil bertanya banyak hal dalam pikiranku dan berusaha menenangkan hatiku. Juliette: Bukannya aku takut , sangat membantu sampai pagi menjelang saat itu)

Monday, August 18, 2008

Puisi untukmu IRIS





230408
19;35







Cinta pertama
Itu seperti buah delima
Jika rasa lebih kuat
Maka hasrat akan tetap terasa hangat

Aku tak pernah menyalahkan
JIka cintamu berpindah hasrat
aku hanya ingin persahabatan
Antara kita tetap hangat

Walaupun cintaku
tetap kusimpan di dalam hatiku
Hanya untuk melihat senyumanmu
Di pelukan hawa impianmu


("apakah aku bisa melihat ketulusanmu lagi iris?")

SepTember AkAN KuIngaT SeLaLu



PART ONE
4 September 2006
00;12

Kamar ini tampak benar - benar berbeda, ada ranjang putih kecil tanpa bantal atau guling, dan tidak ada lemari atau barang - barang lain yang membuatnya terlihat seperti bentuk sebuah ruangan yang bisa kusebut tempat tinggal. Ini memang bukan tempat tinggal.Ini hanya sebuah kamar. Ini sebuah kamar penentuan. Penentuan tentang bagaimana kelanjutan hidupku nanti. Bisa jadi antara hidup dan mati. Bukan tentang hidup matiku, tapi hidup mati jiwaku. Dan saat ini aku hanya bisa termenung memandang pilu sesosok tubuh manusia yang mengisi lebih dari separuh jiwaku semenjak 22 tahun yang lalu. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak.Selang kecil berisi cairan berwarna merah mengalir melewati hidungnya.Dada kanannya seperti patah masuk ke dalam paru - paru. Nafasnya tersengal – sengal, kadang terhenti kadang datang tak beraturan.


Seperti ada batu yang mengganjal setiap ia menarik nafas. Tubuhnya penuh dengan cairan merah yang mengering terutama di daerah kepala. Cairan merah lain tetap mengalir dengan pelan melalui telinga dan hidung. Membasahi kasur putih menjadi berwarna merah. Aku ingin menyumbat atau menyedot habis cairan itu. Tapi manusia yang berkata bisa mengobati manusia lain dengan prediksi awal tanpa mempunyai ilmu kebatinan itu menyarankan agar aku membiarkan cairan itu keluar sehingga keadaan tubuhnya menjadi lebih baik. Tapi aku tak percaya. Karena semakin aku termenung memandang tubuh seberat 72 kilogram yang penuh dengan darah dan tanpa tenaga itu, semakin aku melihat bahwa tubuh itu seperti tubuh tanpa jiwa. Kosong!

Tiba-tiba manusia berpakaian putih - putih berjalan mendekat dan memanggilku,

" Mba... maaf mengganggu. Apa mba mau dapat penjelasan dari hasil visum bapak?"

Tanyanya sambil menatap mataku. Dengan lunglai aku mengangguk sambil tersenyum.

" Sebentar lagi ya dok, .Aku datang ke ruangan dokter."

Aku berdiri dan mendekati tubuhnya, sambil menahan jatuhnya air mataku aku berbisik,

" pa... aku pergi bentar yah. Tunggu dini bentar. Cepet sembuh yah pa...!"

Lalu aku berjalan ke arah ruangan 4 x 6 meter dan bersiap mendengarkan kemungkinan terburuk yang akan diucapkan oleh seorang manusia yang bisa menyelamatkan hidup papaku. Pintu itu kudorong perlahan, lalu pria setengah baya berpakaian putih dengan rambut yang tinggal setengah lagi menutupi batok kepalanya berkata dengan nada datar,

" Silahkan Mba dini. Duduk dulu."

Aku hanya tersenyum dan langsung duduk.

" Ada apa dok? Tolong dokter jujur aja. Saya pengen tau sedetil - detilnya soal kondisi papa."

Dokter pun mulai mengeluarkan lembar - lembar kertas hitam dan putih.
Lalu ia mulai menjelaskan,

" Begini mba. Kondisi papa anda memang tidak baik."
" Maksud dokter? Tolong diperjelas! Tidak apa - apa dok! Saya kuat koq!"

Sahutku sengit. Dokter menghela nafas dan berkata,

" Maaf mba dini kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk membantu, tapi papa mba dini memang dalam kondisi kritis. Tulang rusuk kanan pada dada patah dari tulang rusuk ke dua hingga ke sembilan dan yang membuat parah adalah pada bagian kepala."

Aku menunduk lesu,

" Memang kepala papa saya kenapa dok?"

Dengan hati - hati dokter berusaha menjelaskan,

" Begini.. papa kepala mba dini penuh dengan cairan kental pada pelipis dan kepala belakang kiri, ini bisa diangkat dengan jalan operasi. Tapi ....tulang otak bawah kepala bagian kanan yang retak susah kami sembuhkan. Karena darah sudah masuk dan mengalir ke dalam otak. Jadi.... "
" Maksud dokter papaku .....? "

Air mataku sudah membasahi pipi.

“ Begini mba … lebih baik mba dini tabah, bapak memang…. “
“ Maksud dokter? Jangan buat saya jadi tambah bingung dong dok! “

Aku bertambah sengit. Seperti dalam sebuah peperangan besar. Antara kegalauan hatiku dan kecemasan jiwaku. Dalam hatiku rasanya bergejolak seperti gunung api yang akan meletus. Aku benar – benar ingin berteriak…

“Begini mba, bapak memang dalam keadaan koma! Tapi mba harus yakin kalau kami akan berbuat yang terbaik.”

Dokter berusaha menenangkan hatiku.

“Terima kasih dok,.. tapi kalau boleh saya tau… Apa yang membuat kecemasan dokter terhadap kondisi papa?

” Begini mba. Bisa dikatakan kalau kondisi bapak dalam keadaan koma.”

Dokter memandang mataku dan kembali menjelaskan.

”Bapak mengalami patah tulang rusuk dan kerusakan pada otak karena darah yang menggenang. Ini bisa diakibatkan karena pertolongan yang terlambat atau benturan yang terlampau keras.”

”Lalu dok, bagaimana jalan terbaik?”

”Mungkin saat ini jalan terbaik hanyalah menunggu.”

”Mengapa dok?”

”Begini mba. Kita melihat dulu kondisi terbaik pada tubuh bapak. Jika memungkinkan kami akan melakukan operasi. Tapi sebaiknya mba dini banyak berdoa. Berserahlah pada Yang Maha Kuasa. Semoga diberi mujisat.”

”terima kasih dok. Jika ada perkembangan mohon saya segera diberi tau.”

”Pasti.”

Dokter berdiri dan menjabat tanganku. Berusaha memberi kekuatan agar aku bisa lebih tabah dan tidak menyerah akan keadaan.Langkahku lunglai kembali ke ruangan itu. Aku kembali duduk dan memandang tubuh papa. Berharap dan menutup mata. Aku berusaha meminta dan memohon mujizat. Tiba – tiba ...

”huek..... huek........”

Tubuh papa setengah terbangun dan terkejang – kejang. Papa memuntahkan darah segar. Dengan cepat aku mendekati papa sambil berteriak.

”Doookkkkktteerrrrrr!!!!!!!!”

”Doookttterrrrr... tolongggggg papa!!!!!”

Beberapa dokter dan suster mengelilingiku dan papa. Aku tetap memegang erat tangannya. Matanya sempat terbuka dan memandangku. Hanya beberapa saat. Aku bisa merasakan rasa sakit yang ia derita. Tanpa sempat melakukan apapun lagi, tangan salah satu dokter telah menarikku dan berkata,

” Mba... biar dokter yang menangani, sebaiknya mba dini...”

” Tapi dok... saya ingin di dalam. Saya mohon.”

“ Baiklah, tapi bajunya dibersihkan atau diganti ya?”

Aku melihat kaus putih dan celana pendekku kini telah berubah menjadi dua warna. Merah dan putih. Tapi aku tidak perduli. Aku hanya peduli jika papa kembali membuka mata dan memandangku. Paling tidak aku tau ia masih ada dalam tubuh yang terlihat kosong tanpa jiwa...

“ YA TuHAN.....!!!!”

“ Kumohon.... Tolong Aku...!”

(Maafkan Aku papa tanganku tak cukup kuat menopang beban pundakmu...)


----------------------------------------------------------------------------------------------




PART TWO

12 September 2006

16:08

Aku terdiam tanpa harapan. Jiwa terasa melayang dan tak ingin kembali. Aku tak pernah bisa menerima keadaan. Mengapa? Apa yang kini telah terjadi? Apa salahku? Apa dosaku terlalu besar untuk dimaafkan? Semua pertanyaan itu aku tak pernah bisa temukan jawabannya. Dan aku hanya bisa menyalahkan diriku yang terlalu banyak menghabiskan waktu karena kebodohan dan keegoisan. Mengapa aku tak pernah berusaha membahagiakan hati tubuh lelaki yang kini tak lagi bergerak semenjak aku lahir dulu. Aku terlalu mengecewakan hatinya. Aku hanya bisa menyusahkan hidupnya. Berbicara saja sekarang tak bisa, bahkan bernafas saja dibantu oleh alat pernafasan dan….

“ din… dipanggil ke ruangan dokter…”

“ Kenapa tante?”

Aku hanya bisa melihat sosok tubuhnya dari kaca yang tanpa bisa menyentuhnya setiap saat. Ruangan itu tidak bisa ditunggu oleh keluarga. Hanya ada dokter. Dan keluarga hanya bisa masuk lima belas menit. Itupun dengan memakai alat – alat seperti seorang dan harus mencuci tangan agar tetap higienis. Andai saja kaca ini bisa kuhilangkan dan bisa menyentuh tubuh dan merawatmu papa..

“ Dipanggil ke ruangan dokter… ayo nae sana…”

“ …………………………….. “

Adik papaku hanya tersenyum dan menghapus air matanya. Ia berusaha untuk menguatkan. Tapi entah mengapa aku melihat air matanya menggenang dan mungkin akan membasahi daratan di tempat aku berjalan. Aku merasa demikian karena saat aku berjalan ke ruang icu dan menuju ruangan dokter aku melihat tidak ada lantai untuk diinjak. Kakiku seperti berjalan di atas air karena aku lihat lantai rumah sakit penuh dengan air sampai mata kaki. Entah air mataku atau air mata keluarga lain yang berharap kesembuhan dari keluarganya. Aku tak mengerti.

“ ……… permisi dok…”

“ Silahkan…. masuk mba….”

“ Dokter manggil saya, dok?”

“ Oh.. Mba dini. Ia mba… silahkan duduk.”

“ Gimana keadaan papa saya dok?”

“…. Mmmm… begini mba…”

“ Ada perubahan dok? Apa papa saya membaik atau…”

“ Begini setelah operasi di paru – paru untuk mengangkat darah yang menggenang, infeksi karena luka dan lebam yang tergores karena terkena tulang dada yang patah belum membaik.”

“ Lalu dok…?”


Lelaki setengah baya yang memakai pakaian putih ini menarik nafas dan melihatku,


“ Saya memanggil mba kesini karena menandatangani resep obat yang harus diambil. Karena obat ini paling tidak bisa membuat infeksi di paru – paru papa anda akan mulai menghilang.”

“ Lalu bagaimana dengan perdarahan di otak papa saya dok?”

“ Dokter belum bisa mengambil operasi karena kesadaran papa anda masih minimal… itu akan mengambil resiko yang sangat tinggi.”

“ Menurut dokter apa yang terbaik.. Itu adalah hal terbaik untuk menyembuhkan papa saya dok.”

“ Banyak berdoa mba… mungkin saja bisa membantu meringankan beban anda.”

“ Terima kasih dok. Kalau sesuatu terjadi.. Tolong beritahu saya.”

“ Pasti mba dini…”

“ Permisi dok…”

Manusia yang selalu berusaha tersenyum dan menguatkan hatiku dengan pakaian putih itu hanya tersenyum melihatku berjalan menunduk meninggalkan ruangannya. Aku kembali berjalan melewati lorong di rumah sakit ini. Tanpa aku sadari. Sudah hampir sembilan hari aku selalu melewati hari – hariku disini. Aku hanya bisa, memegang tangannya, melihatnya dari kaca, duduk, makan, dan berdoa. Entah apa yang aku bisa lakukan agar papa kembali dan memaafkan semua kesalahanku. Aku hanya bisa memohon, aku hanya bisa berdoa agar Tuhan bisa mengampuni semua dosa – dosaku dan mengembalikan papa padaku. Andai saja waktu bisa kuulang kembali. Maka aku akan memilih untuk membahagiakan papa. Bukan hanya mengecewakannya dan membuatnya menderita karena kebodohanku dan keegoisanku sendiri. Andai saja paling tidak aku bisa meminta maaf pada papa dan memohon papa agar kembali menjagaku dan menyayangiku lagi. Andai saja rasa sesalku tidak datang belakangan. Dalam kesendirian dan kegelapan aku selalu berdoa,

”Ya Tuhan… Kumohon Tolonglah Sembuhkan Papaku..BIsakah kutukarkan jiwaku agar bisa menyadarkan dan menyembuhkan papa? “

Saat aku menutup mata, saat aku berusaha menguatkan hati. Saat dungin menusuk tulang kakiku…

“ Din… “

“……………….”

“ Dini……… Ngapain kamu disini?”

“ … ngga ngapain…”

“…………………………”

Adik papaku hanya bisa termenung melihatku duduk sendiri di bawah pohon dan hanya ditemani kegelapan.

“ Dari mana tante?”

“ Habis makan… Kamu ngga makan?”

“ Udah malem gini tante….”
” Makan dulu sana…”
” Besok aja deh tante….”

“ Kamu belom makan seharian, gimana kamu bisa jagain papamu kalo kamu sendiri sakit?”

“ Ya Tante.. Tar an aja.”

“ Udah malem gini, din”

“ Tar an aja tante….!”

“ Tu khan bandelmu kambuh lagi….!”

Aku hanya menunduk dan berjalan meninggalkan tanteku. Rasanya lebih baik aku melihat papa dan bertanya pada dokter yang menjaga, apa aku bisa masuk ke ICU dan berbicara dengannya. Makan hanya terasa lebih nyaman kalau aku melihat kesembuhan papa. Akhirnya aku berjalan melewati lorong itu lagi. Aku berharap aku bisa menemui papa sebelum malam mulai semakin larut. Aku harap aku bisa berbicara dengan papa sebelum aku tertidur dan menutup mataku.

“ Permisi dok…..”

“ Ada apa mba?”

“ Apa saya boleh masuk ke ruangan dan melihat papa lagi?”


Lelaki setengah baya ini hanya kaget dan melihatku seperti hantu.


“ Bukannya tadi sudah mba?”

“ Saya mohon dok…”
” …………………..”

“ Saya janji gak akan lama, saya mohon.”

“ Begini aja mba.. boleh saja mba masuk tapi jangan lebih dari 15 menit ya? Karena setelah itu kami akan memberikan obat.”

“ Terima kasih dok….”

“ Silahkan mba…”

Lalu aku mencuci tangan dengan sabun khusus, mengambil selop tangan, muka dan memakai baju dokter. Dokter lalu melihatku bersih dan sudah memakai peraturan masuk ke ICU. Lalu ia membuka pintu dan akhirnya aku masuk di ruangan bersih, dingin dan cukup mengerikan itu. Ada beberapa dokter dan beberapa manusia yang umumnya belum sadar. Mereka hidup tapi tanpa reaksi dan mungkin lelah akan kehidupan. Malah kadang aku melihat mereka tanpa nyawa. Ada tujuh manusia yang penuh dengan selang dan alat bantu nafas, muka mereka pucat dan mereka seperti tidur dengan lelap. Semakin aku berjalan menuju tempat tidur papa, setiap manusia yang aku lewati selalu aku perhatikan. Hatiku sedih, dan mulai bertanya. JIka ada kehidupan mengapa saat melihat mereka tergeletak tanpa reaksi dan berjuang dengan kematian aku juga merasakan kepedihannya. Entahlah… Aku tak mengerti.

“ Mba maaf ya… Jangan lewat dari lima belas menit.”

“ Iya dok…”


Aku hanya menunduk dan memegang tangan papa. Tangannya begitu dingin. Ada empat selang yang masuk ke tubuhnya. Alat bantu pernafasan juga terdengar begitu menyakitkan. Aku hanya bisa memegang tangannya dan mulai berbicara perlahan.


“ Pa..maafin din ya. Din selalu nyusahin papa dari dulu. Papa sadar ya pa. Cepet sembuh. Din gak bisa hidup disini gak ada papa.”

Papa tetap terdiam dan tidak ada reaksi. Air mataku sudah membasahi pipi. Aku hanya bisa berharap saat aku berbicara dengannya beliau akan membuka mata dan kembali berbicara. Tapi entahlah itu tak pernah terjadi. Air mataku menetes dan membasahi tangan papa yang aku pegang. Saat itu aku melihat papa tersenyum dan begitu lelah. Entah karena kehidupan yang begitu menyedihkan atau hal yang lain aku tak mengerti.

“ Pa… kalau papa denger. Din ngerti papa marah. Din selalu ngecewain papa. Tapi din rela, kalau papa milih jalan ninggalin din. Din selalu berdoa agar papa cepet sembuh. Tapi kalau Ida Sang Hyang Widi menentukan kalau papa harus pergi. Din rela pa. Asal itu jalan terbaik papa.. Din rela. Biarpun din gak punya saudara. Din yakin papa akan selalu ada untuk din. Papa denger pa….? ”

Suaraku parau. Air mataku semakin membasahi tangan yang aku peluk. Tiba – tiba jari papa bergerak dan mengagetkanku. Suara alat bantu pernafasan juga berbeda. Terdengar bunyi nyaring. Lalu dua dokter datang dan menarikku keluar. Aku semakin takut dan takut… Lalu aku berjalan menunggu di luar menunggu dokter datang dan menjelaskan.


“ Dok… tadi papa kenapa dok?”

“ Maaf mba… tadi hanya ada reaksi dari otak.”

“ Apa papa sadar?”
” Belum mba…. Mungkin tadi hanya reaksi dari perdarahan di kepala.”

“ …………..”

“ Sebaiknya mba keluar dan istirahat, mba masih bisa datang lagi besok pagi.”
” Terima kasih dok… permisi.”

Lalu aku mengembalikan semua perlengkapan masuk icu dan mencuci tangan. Setelah itu aku kembali berjalan melewati lorong dan kembali di tempat semua keluargaku menunggu. Aku tak perduli semua keluargaku saat itu. Aku hanya ingin tidur dan berharap saat aku bangun esok pagi, papa akan sadar dan kembali sembuh. Walau aku tiduk di kursi, walau tanpa selimut. Aku ingin mentari pagi cepat datang karena aku merasa hangat dan bisa tidur nyenyak saat aku mengigat papa ada di dekatku.

--------------------------------------------------------------------------------------



13 September 2006

03:15


“ Panggilan kepada Dini dan keluarga diharap datang ke ICU.”

“ Sekali lagi Dini dan keluarga diharap datang ke ICU secepatnya.”


Aku terkaget dan langsung berlari menuju ICU. Subuh yang mengagetkan. Aku berlari dalam kegelapan. Aku tak peduli keluargaku yang lain. Walaupun mereka juga ikut berlari menuju ICU. Sampai di depan ICU aku mendorong pintu masuk dan langsung mencari dokter. Aku berfikir kalau papa sadar dan memanggil namaku. Aku merasa papa sadar dan…


“ Maaf dok… Apa dokter memanggil saya, ada apa dok? Apa papa sadar?”

“ Begini mba… sebaiknya mba dini duduk dulu.”

“ Maaf dok.. ada apa dokter memanggil saya?”


Beberapa pria dan wanita berpakaian putih memakai selop tangan, dan muka hanya memandangku dan terdiam…

“ Begini kira – kira lima belas menit yang lalu setelah kami berusaha yang terbaik….. Papa anda ….. meninggal dunia.

“ Apa dok..? Maksud dokter?”

“ Perdarahan di otak dan infeksi di paru – paru kanan papa anda tidak bisa kami….. Maka kami mohon maaf. Sekali lagi, kami sudah berusaha yang terbaik….”


Aku hanya bisa terpaku, mendengarkan penjelasan dokter dan menangis. Tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa bergerak dengan benar. Berdiri saja aku tak kuat.Aku hanya melihat sesosok tubuh 72 kilogram tidur dengan tenang, selang sudah terlepas dari tubuhnya. Beliau seperti tertidur pulas. AKu ingin mendekat dan membangunkannya. Tapi aku takut… Aku masih berfikir. Apa ini kenyataan. Atau aku hanya mimpi? Apa yang bisa kulakukan di dunia jika papa pergi dan jauh meninggalkanku? Pada bahu siapa aku bisa bersandar untuk bercerita tentang semua kebodohanku?


(“papa… maafkan segala kesalahanku”)

Tuesday, October 02, 2007

Senja menjelang Purnama

30307
18;57


Hari ke tiga bulan ke tiga di senja yang menjelang purnama. Saat hambamu telah lelah duduk mendengar dan membaca agar menjadi seorang pendidik manusia yang berwibawa. Penampilan raga dibentuk dengan akhlak yg sempurna tapi takwa tidak diasah dengan tulusnya doa. Ini adalah realita nyata pulau dewata. Yang umumnya dihadapi anak remaja. Berkutat pada dunia dengan semua permata buatan manusia, tapi lupa menghapal kata dalam doa sehingga saat waktu berjalan, otak mereka semakin mudah diperdaya. Mukaku menunduk tanpa daya, menyadari kalau aku adalah manusia yang terlahir putih tanpa warna, tapi setelah dua dasa warsa berlindung di bawah cakrawala malah meniti jembatan menuju neraka. Saat semua telah menjadi abu, baru aku menangis tersedu. Tapi saat mengukir asa dan cela aku berfikir tanpa memperhitungkan tajamnya realita. Andai saja gundah di dada bisa diganti senyum penuh bangga, jika saja Beliau membukakan pintu rumah pengampunan dosa, maka……
Denting lonceng terdengar begitu keras, memekakkan pikiran bukannya gendering telinga. Denting lonceng yang dipegang oleh pendeta suci pemuja Ida Sang Hyang Widi Wasa itu seperti membakar hangus batin seorang hawa yang berceloteh kalau ia adalah pemuja yang setia.
Benar – benar menampar iman dan takwaku padaNYA. Aku hanya seorang hawa yang telah dua abad melihat dunia tiba – tiba mengingat betapa hinanya perbuatan dan pikiran jika aku ingin menyebut dan menyembah padaNYA. Malu dan terhina, takut akan murkanya. Tapi dosa selalu mengikat perbuatan karena iman terpengaruh oleh dunia yang hampir menjelma menjadi neraka.
Akhirnya akupun berlutut, menunduk dan mengucap dengan terbata…
“ Ya Tuhan…..
Tuntunlah aku kembali pada jalanMU…
Kuatkanlah imanku agar tetap menyembah padaMU.…
Kumohon .. bukakanlah pintu maafMu…

Aku duduk dan bersimpuh di ruangan dekat dengan jalan, tangan kulipat di depan dada, mata kupejamkan berusaha menyatu dalam kamar dengan lampu yg kumatikan. Pikiran kufokuskan pada satu titik, dengan air mata yang mulai menetes, tangan yang semakin bergetar kurasakan tangan papa memegang pundakku berusaha menguatkan saat aku mulai mengucap dengan lirih….

Om Om Om
Bhur Budhaz Svaha………

(jika aku salah menempatkan kata ataupun penulisan, aku mohon maaf)

Wednesday, September 26, 2007

SepTember AkAN KuIngaT SeLaLu

PART ONE

4 September 2006
00;12


Kamar ini tampak benar - benar berbeda, ada ranjang putih kecil tanpa bantal atau guling, dan tidak ada lemari atau barang - barang lain yang membuatnya terlihat seperti bentuk sebuah ruangan yang bisa kusebut tempat tinggal. Ini memang bukan tempat tinggal.Ini hanya sebuah kamar. Ini sebuah kamar penentuan. Penentuan tentang bagaimana kelanjutan hidupku nanti. Bisa jadi antara hidup dan mati. Bukan tentang hidup matiku, tapi hidup mati jiwaku. Dan saat ini aku hanya bisa termenung memandang pilu sesosok tubuh manusia yang mengisi lebih dari separuh jiwaku semenjak 22 tahun yang lalu. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak.Selang kecil berisi cairan berwarna merah mengalir melewati hidungnya.Dada kanannya seperti patah masuk ke dalam paru - paru. Nafasnya tersengal – sengal, kadang terhenti kadang datang tak beraturan.

Seperti ada batu yang mengganjal setiap ia menarik nafas. Tubuhnya penuh dengan cairan merah yang mengering terutama di daerah kepala. Cairan merah lain tetap mengalir dengan pelan melalui telinga dan hidung. Membasahi kasur putih menjadi berwarna merah. Aku ingin menyumbat atau menyedot habis cairan itu. Tapi manusia yang berkata bisa mengobati manusia lain dengan prediksi awal tanpa mempunyai ilmu kebatinan itu menyarankan agar aku membiarkan cairan itu keluar sehingga keadaan tubuhnya menjadi lebih baik. Tapi aku tak percaya. Karena semakin aku termenung memandang tubuh seberat 72 kilogram yang penuh dengan darah dan tanpa tenaga itu, semakin aku melihat bahwa tubuh itu seperti tubuh tanpa jiwa. Kosong!

Tiba-tiba manusia berpakaian putih - putih berjalan mendekat dan memanggilku,

" Mba... maaf mengganggu. Apa mba mau dapat penjelasan dari hasil visum bapak?"

Tanyanya sambil menatap mataku. Dengan lunglai aku mengangguk sambil tersenyum.

" Sebentar lagi ya dok, .Aku datang ke ruangan dokter."

Aku berdiri dan mendekati tubuhnya, sambil menahan jatuhnya air mataku aku berbisik,

" pa... aku pergi bentar yah. Tunggu dini bentar. Cepet sembuh yah pa...!"

Lalu aku berjalan ke arah ruangan 4 x 6 meter dan bersiap mendengarkan kemungkinan terburuk yang akan diucapkan oleh seorang manusia yang bisa menyelamatkan hidup papaku. Pintu itu kudorong perlahan, lalu pria setengah baya berpakaian putih dengan rambut yang tinggal setengah lagi menutupi batok kepalanya berkata dengan nada datar,

" Silahkan Mba dini. Duduk dulu."

Aku hanya tersenyum dan langsung duduk.

" Ada apa dok? Tolong dokter jujur aja. Saya pengen tau sedetil - detilnya soal kondisi papa."

Dokter pun mulai mengeluarkan lembar - lembar kertas hitam dan putih.
Lalu ia mulai menjelaskan,

" Begini mba. Kondisi papa anda memang tidak baik."
" Maksud dokter? Tolong diperjelas! Tidak apa - apa dok! Saya kuat koq!"

Sahutku sengit. Dokter menghela nafas dan berkata,

" Maaf mba dini kami sudah berusaha sekuat mungkin untuk membantu, tapi papa mba dini memang dalam kondisi kritis. Tulang rusuk kanan pada dada patah dari tulang rusuk ke dua hingga ke sembilan dan yang membuat parah adalah pada bagian kepala."

Aku menunduk lesu,

" Memang kepala papa saya kenapa dok?"

Dengan hati - hati dokter berusaha menjelaskan,

" Begini.. papa kepala mba dini penuh dengan cairan kental pada pelipis dan kepala belakang kiri, ini bisa diangkat dengan jalan operasi. Tapi ....tulang otak bawah kepala bagian kanan yang retak susah kami sembuhkan. Karena darah sudah masuk dan mengalir ke dalam otak. Jadi.... "
" Maksud dokter papaku .....? "

Air mataku sudah membasahi pipi.

“ Begini mba … lebih baik mba dini tabah, bapak memang…. “
“ Maksud dokter? Jangan buat saya jadi tambah bingung dong dok! “

Aku bertambah sengit. Seperti dalam sebuah peperangan besar. Antara kegalauan hatiku dan kecemasan jiwaku. Dalam hatiku rasanya bergejolak seperti gunung api yang akan meletus. Aku benar – benar ingin berteriak…

“Begini mba, bapak memang dalam keadaan koma! Tapi mba harus yakin kalau kami akan berbuat yang terbaik.”

Dokter berusaha menenangkan hatiku.

“Terima kasih dok,.. tapi kalau boleh saya tau… Apa yang membuat kecemasan dokter terhadap kondisi papa?
” Begini mba. Bisa dikatakan kalau kondisi bapak dalam keadaan koma.”

Dokter memandang mataku dan kembali menjelaskan.

”Bapak mengalami patah tulang rusuk dan kerusakan pada otak karena darah yang menggenang. Ini bisa diakibatkan karena pertolongan yang terlambat atau benturan yang terlampau keras.”
”Lalu dok, bagaimana jalan terbaik?”
”Mungkin saat ini jalan terbaik hanyalah menunggu.”
”Mengapa dok?”
”Begini mba. Kita melihat dulu kondisi terbaik pada tubuh bapak. Jika memungkinkan kami akan melakukan operasi. Tapi sebaiknya mba dini banyak berdoa. Berserahlah pada Yang Maha Kuasa. Semoga diberi mujisat.”
”terima kasih dok. Jika ada perkembangan mohon saya segera diberi tau.”
”Pasti.”

Dokter berdiri dan menjabat tanganku. Berusaha memberi kekuatan agar aku bisa lebih tabah dan tidak menyerah akan keadaan.Langkahku lunglai kembali ke ruangan itu. Aku kembali duduk dan memandang tubuh papa. Berharap dan menutup mata. Aku berusaha meminta dan memohon mujizat. Tiba – tiba ...

”huek..... huek........”

Tubuh papa setengah terbangun dan terkejang – kejang. Papa memuntahkan darah segar. Dengan cepat aku mendekati papa sambil berteriak.

”Doookkkkktteerrrrrr!!!!!!!!”
”Doookttterrrrr... tolongggggg papa!!!!!”

Beberapa dokter dan suster mengelilingiku dan papa. Aku tetap memegang erat tangannya. Matanya sempat terbuka dan memandangku. Hanya beberapa saat. Aku bisa merasakan rasa sakit yang ia derita. Tanpa sempat melakukan apapun lagi, tangan salah satu dokter telah menarikku dan berkata,

” Mba... biar dokter yang menangani, sebaiknya mba dini...”
” Tapi dok... saya ingin di dalam. Saya mohon.”
“ Baiklah, tapi bajunya dibersihkan atau diganti ya?”


Aku melihat kaus putih dan celana pendekku kini telah berubah menjadi dua warna. Merah dan putih. Tapi aku tidak perduli. Aku hanya peduli jika papa kembali membuka mata dan memandangku. Paling tidak aku tau ia masih ada dalam tubuh yang terlihat kosong tanpa jiwa...

“ YA TuHAN.....!!!!”
“ Kumohon.... Tolong Aku...!”

(Maafkan Aku papa tanganku tak cukup kuat menopang beban pundakmu...)


PART TWO

12 September 2006
16:08

Aku terdiam tanpa harapan. Jiwa terasa melayang dan tak ingin kembali. Aku tak pernah bisa menerima keadaan. Mengapa? Apa yang kini telah terjadi? Apa salahku? Apa dosaku terlalu besar untuk dimaafkan? Semua pertanyaan itu aku tak pernah bisa temukan jawabannya. Dan aku hanya bisa menyalahkan diriku yang terlalu banyak menghabiskan waktu karena kebodohan dan keegoisan. Mengapa aku tak pernah berusaha membahagiakan hati tubuh lelaki yang kini tak lagi bergerak semenjak aku lahir dulu. Aku terlalu mengecewakan hatinya. Aku hanya bisa menyusahkan hidupnya. Berbicara saja sekarang tak bisa, bahkan bernafas saja dibantu oleh alat pernafasan dan….

“ din… dipanggil ke ruangan dokter…”
“ Kenapa tante?”

Aku hanya bisa melihat sosok tubuhnya dari kaca yang tanpa bisa menyentuhnya setiap saat. Ruangan itu tidak bisa ditunggu oleh keluarga. Hanya ada dokter. Dan keluarga hanya bisa masuk lima belas menit. Itupun dengan memakai alat – alat seperti seorang dan harus mencuci tangan agar tetap higienis. Andai saja kaca ini bisa kuhilangkan dan bisa menyentuh tubuh dan merawatmu papa..

“ Dipanggil ke ruangan dokter… ayo nae sana…”
“ …………………………….. “

Adik papaku hanya tersenyum dan menghapus air matanya. Ia berusaha untuk menguatkan. Tapi entah mengapa aku melihat air matanya menggenang dan mungkin akan membasahi daratan di tempat aku berjalan. Aku merasa demikian karena saat aku berjalan ke ruang icu dan menuju ruangan dokter aku melihat tidak ada lantai untuk diinjak. Kakiku seperti berjalan di atas air karena aku lihat lantai rumah sakit penuh dengan air sampai mata kaki. Entah air mataku atau air mata keluarga lain yang berharap kesembuhan dari keluarganya. Aku tak mengerti.

“ ……… permisi dok…”
“ Silahkan…. masuk mba….”
“ Dokter manggil saya, dok?”
“ Oh.. Mba dini. Ia mba… silahkan duduk.”
“ Gimana keadaan papa saya dok?”
“…. Mmmm… begini mba…”
“ Ada perubahan dok? Apa papa saya membaik atau…”
“ Begini setelah operasi di paru – paru untuk mengangkat darah yang menggenang, infeksi karena luka dan lebam yang tergores karena terkena tulang dada yang patah belum membaik.”
“ Lalu dok…?”

Lelaki setengah baya yang memakai pakaian putih ini menarik nafas dan melihatku,

“ Saya memanggil mba kesini karena menandatangani resep obat yang harus diambil. Karena obat ini paling tidak bisa membuat infeksi di paru – paru papa anda akan mulai menghilang.”
“ Lalu bagaimana dengan perdarahan di otak papa saya dok?”
“ Dokter belum bisa mengambil operasi karena kesadaran papa anda masih minimal… itu akan mengambil resiko yang sangat tinggi.”
“ Menurut dokter apa yang terbaik.. Itu adalah hal terbaik untuk menyembuhkan papa saya dok.”
“ Banyak berdoa mba… mungkin saja bisa membantu meringankan beban anda.”
“ Terima kasih dok. Kalau sesuatu terjadi.. Tolong beritahu saya.”
“ Pasti mba dini…”
“ Permisi dok…”

Manusia yang selalu berusaha tersenyum dan menguatkan hatiku dengan pakaian putih itu hanya tersenyum melihatku berjalan menunduk meninggalkan ruangannya. Aku kembali berjalan melewati lorong di rumah sakit ini. Tanpa aku sadari. Sudah hampir sembilan hari aku selalu melewati hari – hariku disini. Aku hanya bisa, memegang tangannya, melihatnya dari kaca, duduk, makan, dan berdoa. Entah apa yang aku bisa lakukan agar papa kembali dan memaafkan semua kesalahanku. Aku hanya bisa memohon, aku hanya bisa berdoa agar Tuhan bisa mengampuni semua dosa – dosaku dan mengembalikan papa padaku. Andai saja waktu bisa kuulang kembali. Maka aku akan memilih untuk membahagiakan papa. Bukan hanya mengecewakannya dan membuatnya menderita karena kebodohanku dan keegoisanku sendiri. Andai saja paling tidak aku bisa meminta maaf pada papa dan memohon papa agar kembali menjagaku dan menyayangiku lagi. Andai saja rasa sesalku tidak datang belakangan. Dalam kesendirian dan kegelapan aku selalu berdoa,

”Ya Tuhan… Kumohon Tolonglah Sembuhkan Papaku..BIsakah kutukarkan jiwaku agar bisa menyadarkan dan menyembuhkan papa? “
Saat aku menutup mata, saat aku berusaha menguatkan hati. Saat dungin menusuk tulang kakiku…

“ Din… “
“……………….”
“ Dini……… Ngapain kamu disini?”
“ … ngga ngapain…”
“…………………………”

Adik papaku hanya bisa termenung melihatku duduk sendiri di bawah pohon dan hanya ditemani kegelapan.

“ Dari mana tante?”
“ Habis makan… Kamu ngga makan?”
“ Udah malem gini tante….”
” Makan dulu sana…”
” Besok aja deh tante….”
“ Kamu belom makan seharian, gimana kamu bisa jagain papamu kalo kamu sendiri sakit?”
“ Ya Tante.. Tar an aja.”
“ Udah malem gini, din”
“ Tar an aja tante….!”
“ Tu khan bandelmu kambuh lagi….!”

Aku hanya menunduk dan berjalan meninggalkan tanteku. Rasanya lebih baik aku melihat papa dan bertanya pada dokter yang menjaga, apa aku bisa masuk ke ICU dan berbicara dengannya. Makan hanya terasa lebih nyaman kalau aku melihat kesembuhan papa. Akhirnya aku berjalan melewati lorong itu lagi. Aku berharap aku bisa menemui papa sebelum malam mulai semakin larut. Aku harap aku bisa berbicara dengan papa sebelum aku tertidur dan menutup mataku.

“ Permisi dok…..”
“ Ada apa mba?”
“ Apa saya boleh masuk ke ruangan dan melihat papa lagi?”

Lelaki setengah baya ini hanya kaget dan melihatku seperti hantu.

“ Bukannya tadi sudah mba?”
“ Saya mohon dok…”
” …………………..”
“ Saya janji gak akan lama, saya mohon.”
“ Begini aja mba.. boleh saja mba masuk tapi jangan lebih dari 15 menit ya? Karena setelah itu kami akan memberikan obat.”
“ Terima kasih dok….”
“ Silahkan mba…”


Lalu aku mencuci tangan dengan sabun khusus, mengambil selop tangan, muka dan memakai baju dokter. Dokter lalu melihatku bersih dan sudah memakai peraturan masuk ke ICU. Lalu ia membuka pintu dan akhirnya aku masuk di ruangan bersih, dingin dan cukup mengerikan itu. Ada beberapa dokter dan beberapa manusia yang umumnya belum sadar. Mereka hidup tapi tanpa reaksi dan mungkin lelah akan kehidupan. Malah kadang aku melihat mereka tanpa nyawa. Ada tujuh manusia yang penuh dengan selang dan alat bantu nafas, muka mereka pucat dan mereka seperti tidur dengan lelap. Semakin aku berjalan menuju tempat tidur papa, setiap manusia yang aku lewati selalu aku perhatikan. Hatiku sedih, dan mulai bertanya. JIka ada kehidupan mengapa saat melihat mereka tergeletak tanpa reaksi dan berjuang dengan kematian aku juga merasakan kepedihannya. Entahlah… Aku tak mengerti.

“ Mba maaf ya… Jangan lewat dari lima belas menit.”
“ Iya dok…”

Aku hanya menunduk dan memegang tangan papa. Tangannya begitu dingin. Ada empat selang yang masuk ke tubuhnya. Alat bantu pernafasan juga terdengar begitu menyakitkan. Aku hanya bisa memegang tangannya dan mulai berbicara perlahan.

“ Pa..maafin din ya. Din selalu nyusahin papa dari dulu. Papa sadar ya pa. Cepet sembuh. Din gak bisa hidup disini gak ada papa.”

Papa tetap terdiam dan tidak ada reaksi. Air mataku sudah membasahi pipi. Aku hanya bisa berharap saat aku berbicara dengannya beliau akan membuka mata dan kembali berbicara. Tapi entahlah itu tak pernah terjadi. Air mataku menetes dan membasahi tangan papa yang aku pegang. Saat itu aku melihat papa tersenyum dan begitu lelah. Entah karena kehidupan yang begitu menyedihkan atau hal yang lain aku tak mengerti.

“ Pa… kalau papa denger. Din ngerti papa marah. Din selalu ngecewain papa. Tapi din rela, kalau papa milih jalan ninggalin din. Din selalu berdoa agar papa cepet sembuh. Tapi kalau Ida Sang Hyang Widi menentukan kalau papa harus pergi. Din rela pa. Asal itu jalan terbaik papa.. Din rela. Biarpun din gak punya saudara. Din yakin papa akan selalu ada untuk din. Papa denger pa….? ”

Suaraku parau. Air mataku semakin membasahi tangan yang aku peluk. Tiba – tiba jari papa bergerak dan mengagetkanku. Suara alat bantu pernafasan juga berbeda. Terdengar bunyi nyaring. Lalu dua dokter datang dan menarikku keluar. Aku semakin takut dan takut… Lalu aku berjalan menunggu di luar menunggu dokter datang dan menjelaskan.

“ Dok… tadi papa kenapa dok?”
“ Maaf mba… tadi hanya ada reaksi dari otak.”
“ Apa papa sadar?”
” Belum mba…. Mungkin tadi hanya reaksi dari perdarahan di kepala.”
“ …………..”
“ Sebaiknya mba keluar dan istirahat, mba masih bisa datang lagi besok pagi.”
” Terima kasih dok… permisi.”

Lalu aku mengembalikan semua perlengkapan masuk icu dan mencuci tangan. Setelah itu aku kembali berjalan melewati lorong dan kembali di tempat semua keluargaku menunggu. Aku tak perduli semua keluargaku saat itu. Aku hanya ingin tidur dan berharap saat aku bangun esok pagi, papa akan sadar dan kembali sembuh. Walau aku tiduk di kursi, walau tanpa selimut. Aku ingin mentari pagi cepat datang karena aku merasa hangat dan bisa tidur nyenyak saat aku mengigat papa ada di dekatku.

13 September 2006
03:15

“ Panggilan kepada Dini dan keluarga diharap datang ke ICU.”
“ Sekali lagi Dini dan keluarga diharap datang ke ICU secepatnya.”

Aku terkaget dan langsung berlari menuju ICU. Subuh yang mengagetkan. Aku berlari dalam kegelapan. Aku tak peduli keluargaku yang lain. Walaupun mereka juga ikut berlari menuju ICU. Sampai di depan ICU aku mendorong pintu masuk dan langsung mencari dokter. Aku berfikir kalau papa sadar dan memanggil namaku. Aku merasa papa sadar dan…

“ Maaf dok… Apa dokter memanggil saya, ada apa dok? Apa papa sadar?”
“ Begini mba… sebaiknya mba dini duduk dulu.”
“ Maaf dok.. ada apa dokter memanggil saya?”

Beberapa pria dan wanita berpakaian putih memakai selop tangan, dan muka hanya memandangku dan terdiam…

“ Begini kira – kira lima belas menit yang lalu setelah kami berusaha yang terbaik….. Papa anda ….. meninggal dunia.
“ Apa dok..? Maksud dokter?”
“ Perdarahan di otak dan infeksi di paru – paru kanan papa anda tidak bisa kami….. Maka kami mohon maaf. Sekali lagi, kami sudah berusaha yang terbaik….”

Aku hanya bisa terpaku, mendengarkan penjelasan dokter dan menangis. Tubuhku terasa kaku. Aku tak bisa bergerak dengan benar. Berdiri saja aku tak kuat.Aku hanya melihat sesosok tubuh 72 kilogram tidur dengan tenang, selang sudah terlepas dari tubuhnya. Beliau seperti tertidur pulas. AKu ingin mendekat dan membangunkannya. Tapi aku takut… Aku masih berfikir. Apa ini kenyataan. Atau aku hanya mimpi? Apa yang bisa kulakukan di dunia jika papa pergi dan jauh meninggalkanku? Pada bahu siapa aku bisa bersandar untuk bercerita tentang semua kebodohanku?

(“papa… maafkan segala kesalahanku”)