Senja menjelang Purnama
30307
18;57
Hari ke tiga bulan ke tiga di senja yang menjelang purnama. Saat hambamu telah lelah duduk mendengar dan membaca agar menjadi seorang pendidik manusia yang berwibawa. Penampilan raga dibentuk dengan akhlak yg sempurna tapi takwa tidak diasah dengan tulusnya doa. Ini adalah realita nyata pulau dewata. Yang umumnya dihadapi anak remaja. Berkutat pada dunia dengan semua permata buatan manusia, tapi lupa menghapal kata dalam doa sehingga saat waktu berjalan, otak mereka semakin mudah diperdaya. Mukaku menunduk tanpa daya, menyadari kalau aku adalah manusia yang terlahir putih tanpa warna, tapi setelah dua dasa warsa berlindung di bawah cakrawala malah meniti jembatan menuju neraka. Saat semua telah menjadi abu, baru aku menangis tersedu. Tapi saat mengukir asa dan cela aku berfikir tanpa memperhitungkan tajamnya realita. Andai saja gundah di dada bisa diganti senyum penuh bangga, jika saja Beliau membukakan pintu rumah pengampunan dosa, maka……
Denting lonceng terdengar begitu keras, memekakkan pikiran bukannya gendering telinga. Denting lonceng yang dipegang oleh pendeta suci pemuja Ida Sang Hyang Widi Wasa itu seperti membakar hangus batin seorang hawa yang berceloteh kalau ia adalah pemuja yang setia.
Benar – benar menampar iman dan takwaku padaNYA. Aku hanya seorang hawa yang telah dua abad melihat dunia tiba – tiba mengingat betapa hinanya perbuatan dan pikiran jika aku ingin menyebut dan menyembah padaNYA. Malu dan terhina, takut akan murkanya. Tapi dosa selalu mengikat perbuatan karena iman terpengaruh oleh dunia yang hampir menjelma menjadi neraka.
Akhirnya akupun berlutut, menunduk dan mengucap dengan terbata…
“ Ya Tuhan…..
Tuntunlah aku kembali pada jalanMU…
Kuatkanlah imanku agar tetap menyembah padaMU.…
Kumohon .. bukakanlah pintu maafMu…
Aku duduk dan bersimpuh di ruangan dekat dengan jalan, tangan kulipat di depan dada, mata kupejamkan berusaha menyatu dalam kamar dengan lampu yg kumatikan. Pikiran kufokuskan pada satu titik, dengan air mata yang mulai menetes, tangan yang semakin bergetar kurasakan tangan papa memegang pundakku berusaha menguatkan saat aku mulai mengucap dengan lirih….
Om Om Om
Bhur Budhaz Svaha………
(jika aku salah menempatkan kata ataupun penulisan, aku mohon maaf)
18;57
Hari ke tiga bulan ke tiga di senja yang menjelang purnama. Saat hambamu telah lelah duduk mendengar dan membaca agar menjadi seorang pendidik manusia yang berwibawa. Penampilan raga dibentuk dengan akhlak yg sempurna tapi takwa tidak diasah dengan tulusnya doa. Ini adalah realita nyata pulau dewata. Yang umumnya dihadapi anak remaja. Berkutat pada dunia dengan semua permata buatan manusia, tapi lupa menghapal kata dalam doa sehingga saat waktu berjalan, otak mereka semakin mudah diperdaya. Mukaku menunduk tanpa daya, menyadari kalau aku adalah manusia yang terlahir putih tanpa warna, tapi setelah dua dasa warsa berlindung di bawah cakrawala malah meniti jembatan menuju neraka. Saat semua telah menjadi abu, baru aku menangis tersedu. Tapi saat mengukir asa dan cela aku berfikir tanpa memperhitungkan tajamnya realita. Andai saja gundah di dada bisa diganti senyum penuh bangga, jika saja Beliau membukakan pintu rumah pengampunan dosa, maka……
Denting lonceng terdengar begitu keras, memekakkan pikiran bukannya gendering telinga. Denting lonceng yang dipegang oleh pendeta suci pemuja Ida Sang Hyang Widi Wasa itu seperti membakar hangus batin seorang hawa yang berceloteh kalau ia adalah pemuja yang setia.
Benar – benar menampar iman dan takwaku padaNYA. Aku hanya seorang hawa yang telah dua abad melihat dunia tiba – tiba mengingat betapa hinanya perbuatan dan pikiran jika aku ingin menyebut dan menyembah padaNYA. Malu dan terhina, takut akan murkanya. Tapi dosa selalu mengikat perbuatan karena iman terpengaruh oleh dunia yang hampir menjelma menjadi neraka.
Akhirnya akupun berlutut, menunduk dan mengucap dengan terbata…
“ Ya Tuhan…..
Tuntunlah aku kembali pada jalanMU…
Kuatkanlah imanku agar tetap menyembah padaMU.…
Kumohon .. bukakanlah pintu maafMu…
Aku duduk dan bersimpuh di ruangan dekat dengan jalan, tangan kulipat di depan dada, mata kupejamkan berusaha menyatu dalam kamar dengan lampu yg kumatikan. Pikiran kufokuskan pada satu titik, dengan air mata yang mulai menetes, tangan yang semakin bergetar kurasakan tangan papa memegang pundakku berusaha menguatkan saat aku mulai mengucap dengan lirih….
Om Om Om
Bhur Budhaz Svaha………
(jika aku salah menempatkan kata ataupun penulisan, aku mohon maaf)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home