jErItAN aNgEL dI pAgi haRI..
Menjelang Pagi Saat Mengingat Tindakan Tanpa Iman
200207
3;58
Saat aku berusaha membangun tonggak jiwa dan pribadiku sendiri, aku merasa benar – benar kosong dan mulai kehilangan arah kembali. Saat ini aku merasa seorang manusia yang telah dua abad berteman dengan kelamnya egoisme pribadi, permainan lidah tak bertulang dan gelapnya neraka yang terasa menjelma di sekitar hawa dan udara lingkunganku saat ini. Bagaimana tidak demikian, aku hanya manusia dengan segala keterbatasan, penuh kemaksiatan dan berbuat tanpa pikiran matang bila matahari telah menjelang. Tapi entah mengapa Dia Yang Maha Tau Segala Apa Yang Ada menguji kekuatan kedua pilar kaki kotorku, dengan cara yang aku tidak pernah bisa pikirkan sebelumnya, seperti aku adalah salah satu insan ciptaannya yang benar – benar kokoh dan siap akan semua hal yang menerpa. Saat hawa hitam otakku, emosi dadaku yang telah kokoh layak batu karang dan hilangnya nalar positif dari intuisi yang telah mencapai puncak dari usia pubertas yang seharusnya bisa ditahan dengan iman yang kuat, tidak dapat dibendung dan telah merajalela bak hama yang menyerang padi yang seharusnya akan panen, BELIAU perlahan – lahan murka dan mengambil semua hal yang ternyata adalah kekuatan yang membuat aku tetap membuka pelupuk mata dan tetap memandang tunduk PADANYA dan besimpuh memohon asa. Bagai terhanyut di sungai dengan arus kuat tanpa perahu, seakan jiwa terombang – ambing karena aku meremehkan kekuatan utama yang begitu membantu. Penyesalan memang ada dibelakang perbuatan. Dibukukuan seperti itu. Seperti apa yang terjadi pada lembar hidupku saat ini. Menyesal dengan kesalahan yang telah berulang kali merobek tangan dan memotong nadi kebaikan dari senyum budi pekertiku.
Aku bukan tak belajar. Bukan juga bodoh. Apalagi tak perduli. Hanya kehilangan nurani. DIA YANG MAHA PENYABAR telah berulang kali menasehati, selalu memberi wejangan terbaik dengan seribu peri, sedangkan aku terpatung tak perduli, memasang kedua daun telingaku seperti mendengarkan, tapi menyelimuti naluri dengan rasa tidak perduli. Hingga tidak ada lagi wejangan dan nasehat tapi asam GARAM lautan yang harus kudulang sendiri sepanjang terik mentari. Sendiri, tanpa ada insan sebangsaku yang mau menoleh dan memberi arti kalau mereka tetap perduli walau tidak bisa mendekati apalagi menyelimuti dan membersihkan hati seorang manusia yang lupa akan tulusnya pribadi. Merasa tersakiti seperti tertusuk belati ibu pertiwi, padahal yang seharusnya ditangisi adalah tubuh yang tanpa imajinasi yang berisi jiwa yang terperangkap di dalam ibu pertiwi.
Selama dua puluh tahun semenjak terlepas dari ari – ari aku menatap mentari, DIA PEMBERI KEHIDUPAN, memberikan kehidupan aku anugerah berlimpah dengan semua kebaikan bak ibu yang memberikan seluruh darah untuk makanan urat nadi di ujung kakinya. Segala tanaman telah ditumbuhkan, pagar telah rimbun menjaga dari dunia luar,ada rumah teduh dan beragam makanan. Seperti nirwana dipinjamkan untuk membesarkan raga insan manusia penerus jaman sebuah keluarga yang penuh harapan kebahagiaan. Seharusnya aku begitu bersyukur dan menundukkan iman. Berbuat dengan tangan kesetiaan dan berjalan dengan keiklasan. Tapi lembaran kertas pembeli kenikmatan telah membuat aku membakar segala budi dan kebaikan. Saat aku sadar semua telah terbang bersama awan, aku hanya bisa menunduk dan memohon belas kasihan. Tapi semua telah tersapu abu hitam dendam keeogisan, memandang dengan tajam dan tidak mau mengulurkan tangan. Waktu semakin berputar, usia semakin dipertaruhkan, tapi aku si pembuka jalan harus menutup lebarnya jalan, karena aku harus menutup lembaran yang aku bakar dan membersihkan semua dengan ketulusan iman.
Aku tidak menangis, mengiba atau memaki.Air mata tidak boleh diteteskan lagi hanya karena pribadi yang tidak pernah belajar. Hanya Menyesal. Semua yang aku beri tulusnya kasih sayang hati akhirnya berpaling dan pergi dengan tujuan dan meninggalkan goresan hitam. Mereka selalu memberi senyuman. Tidak menyalahkan, membenarkan. Tapi kini hanya terdiam.
Papa memilih untuk menjadi penghuni khayangan, mamaku tetap duduk pada dunia ”kemurkaan”, ayah angkatku tetap berusaha memotong aorta jantung kanannya tanpa perduli kekuatan karena kecewa terhadap perasaan cinta dan hidupnya, nenek dan kakekku telah menyatukan garis tangan dan menemukan pohon yang rindang, wanita pelindungku telah menemukan tempat di bawah jembatan yang aman, iris telah pergi dan menemukan kebahagiaan tanpa memberitahu akhir perjalanan, sahabatku telah berpaling dan berjalan mengejar belahan jiwa mereka yang telah menunggu di persimpangan. Teman – temanku hanya menertawakan dan melupakan kenangan kami saat tertawa karena gerimis air hujan, bahkan debu dan goresan pena yang selalu melukiskan tiap detik kehidupan dengan air mata kebohohan kini tak bisa lagi digerakkan. Semua hal seperti menolak untuk tetap berdekatan dengan Aku,insan manusia yang kehilanagan akal untuk memahat jalan ke depan.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali tetap bertahan, berusaha menahan beban dan berjalan tanpa terang di tikungan. Walau sendirian, aku harus mencapai tujuan. Membayar semua hutang dan membersihkan kotoran bayangan. Membuat asap membentuk suatu lukisan. Agar bisa dipaajng dan dipandang. Tidak darah yang berceceran. Tanpa bentuk dan berwarna kelam. Aku ingin menyelesaikan apa yang perlu di jalankan. Memulai semua dari awal. Membuka hati dan membersihkan pikaran. Karena aku ingin bersujud padaNYA, memohon agar aku dikembalikan pa da jalan dimana ia selalu menuntun iman. Bertemu papa dan berserah pada PEMILIK KEABADIAN dengan jiwa kebaikan.
Subuh ke enam
diminggu pertengahan
bulan kedua tahun ke tujuh dengan suara jalan dan kesendirian
lelahnya terjaga karena bingung mencari pertolongan,
tapi malu mengucapkan
karena rusaknya wajah sang perawan
saat aku benar – benar tenggelam
Aku diingatkan
kalau aku menjadi manusia yang kehilangan iman
karena cobaan yang seharusnya menguatkan
dan karena lembaran kertas pengikat ucapan
terhadap manusia yang kusebut teman
Tanpa berfikir kalau akan dikucilkan
Hidup tanpa pikraan
Melihat tanpa pandangan
yang kugambar hanya ujung sebuah bayangan
Membiarkan jalan hidupku jauh dari kenyataan
Walau ayah telah berjalan dengan kesedihan
Karena melupakan SANG PENGUASA KHAYANGAN
Aku diberi dunia penuh cobaan
Kini aku menunduk dan menyerahkan
segala khilaf dan kesalahan
semoga BELIAU MENUNJUKKAN JALAN PENENTRAM IMAN
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home