Siang Hari Di Akhir MEI
14;22
Siang itu terasa menyengat. Bukan karena sinar matahari. Tapi lebih dari itu. Menyengat otak dan jiwaku. Itu karena kamu. Sosok pribadi yang baru kukenal karena hitungan minggu. Jika kupikir lagi. Siapa kamu? Hanya manusia biasa. Belum mendobrak pintu hatiku. Dan aku tau kamu hanya tertarik akan kepolosanku. Bukan ingin membangun tonggak rumah denganku.
“ whoy jeng!!!! Koq bengong? “
“ enggak koq……”
“ halah……. Kamu sedih aku pergi ya? ”
“ gak koq!!! PD!!!”
” ya harus lah…. Aku tau dalam hatimu kamu sedih koq.”
Dia memangdangku dengan teduh. Tajam tapi penuh arti seperti ingin mencari jawaban dan kepastian dari hatiku.
“ Ngapain ngeliatin aku kaya gitu?”
“ hwawhawhwa……. GROGI yah?????”
“ gak koq…..!!!!! udah akh!!! Males aku! Dikerjain terus!!”
Kualihkan pandanganku tanpa memperdulikan tawanya yang meledak dan tanpa melihat senyum dari dua saudara lelakinya yang ikut mengantarkan kepergiannya ke bandara. Aku tetap memandang jalanan. Memandang kendaraan yang lalu lalang, dan rambu jalanan. Aku tak perduli akan keadaan. Dan tanpa sadar sepasang mata selalu memperhatikan gerak – gerikku.
“ koq diem bu?”
“ enggak… lagi menikmati aja kalian ngobrol.”
“ lah.. aku ngobrol sama saudaraku koq dinikmati? kamu harusnya merhatiin aku donk! Tar lagi kita gak bakal ketemu loh sampe delapan bulanan.”
“ ya… khan udah dari kemaren – kemaren.”
“ kamu tu ga ngerti – ngerti juga ya….”
“ ga ngerti gmana toh tra?”
“ eit jangan marah gitu doank….. !!!!!”
Tawanya meledak lagi. Kupandangi matanya dan wajahnya. Ia tertawa. Tapi matanya seperti menahan air mata kesedihan. Ia seperti menahan beban berat di pundaknya. Entah apa itu. Aku tak mengerti dan tak ingin mengerti. Ataupun ingin tau. Sebaiknya aku tak perduli.
Jazz hitam melaju pelan memasuki bandara. Musik pop pun volumenya dikecilkan. Tiba – tiba ia memegang tanganku. Erat. Lalu ia lepaskan sambil tersenyum ke arahku. Aku tak mengerti.
“ yan… turun yokk! Bantuin aku bawa tas. Biar mereka parkir dulu.”
Aku hanya tersenyum mengikuti langkahnya. Dia melangkah pelan dan selalu memandangku. Melihat ekspresi wajahku.
“ kamu gak sedih yah aku pergi?”
“ sedih koq… “
“ masa sih? Koq kamu gak nangis?”
“ sedih .. khan gak selalu harus nangis.”
“ tapi….”
“ udahlah tra… Check in dulu
“ ya udah… jangan kemana – mana ya?”
“ gak akh aku mau terbang dulu!!”
“ huuuuuuuuuuu!!! Kuno akh! Setan koq ngaku angel?”
Sambil tertawa dengan cepat ia masuk ke dalam. Sambil berjalan tergesa – gesa ia menoleh padaku. Seperti memastikan agar aku tetap berdiri dan menunggunya.
Lalu aku mencari tempat untuk duduk. Selang tak berapa lama, dua saudara lelakinya datang dan ikut duduk di sampingku. Mereka menghela nafas dan bercerita. Kalau ini adalah saat – saat terberat untuk melanjutkan hidup. Bagi mereka pekerja ‘kapal pesiar’ vacation ke bali adalah seperti liburan ke surga. Bertemu dengan tempat terindah dan orang orang tersayang. Tiba – tiba salah satu sahabatnya datang dan meramaikan suasana.
“ halo wi….”
“ ngapain kamu disini?”
“ hehehe…. Wi sendiri?
“ nganterin dia lah ….!!!!!”
“ nangis kamu ya….?????”
“ gak koq….. ye…..!!!!!”
“ boong lu!! Bilang aja udah segentong air matanya keluar… hwahwahwa…..”
“ Wi ni akhhhhhhhhhh!!!!!!!”
Tiba – tiba tanpa sadar ia telah berdiri di belakangku. Menarik tanganku yang hendak memukul pundak temannya. Genggaman tangannya erat memeluk tanganku dan tanpa perduli akan apapun atau hanya untuk menutupi sesuatu yang ia simpan di otaknya, ia tetap memegang tanganku sepertinya ku akan jauh berlari meninggalkannya.
Lalu ke empat lelaki ini asyiek bercerita seperti bandara ini hanya milik mereka. Cerita apalagi kecualai tentang pengalaman mereka saat bekerja, lingkungan dan tentu saja WANITA! Aku hanya tersenyum sambil memandang mereka satu persatu. Walau sebenarnya dalam hatiku aku merasa mulai kehilangan.
Pembicaraan mereka semakin memanas. Dan begitu pun dengan waktu yang tersisa. Tanpa sadar. Waktu telah habis dan ia harus berangkat. Matanya terlihat sayu. Walaupun bibirnya tersenyum dan tawanya meledak. Satu – persatu saudara dan teman – temannya memeluk dan memberikan ciuman perpisahan sampai tiba giliranku.
“ met jalan yah… hati – hati.”
“ makasi. Baik – baik di bali yah.”
Ia memeluk tubuhku erat. Mencium pipi kiri dan kanan lalu menjabat tanganku. Menyelipkan sebuah kertas lalu berbalik dan berjalan cepat. Tanpa menoleh lagi. Tidak memberikan aku kesempatan untuk bertanya apa isi kertas itu. Mengapa ia selipkan di tanganku dan tidak ia katakan. Aku hanya memandang langkahnya. Tiba – tiba saudaranya mengagetkan lamunanku.
“ yan ke mobil yuuuk!”
“ ya deh…”
“ jangan bengong….. ayo dongggg!”
Sambil menunduk aku berjalan lunglai. Kupandangi kertas putih yang dilipat tanpa bentuk pasti. Kugenggan erat. Aku takut. Angin membawanya pergi tanpa aku tau apa yang tergores di dalamnya. Saudaranya menepuk pundakku seperti ingin menguatkan. Saat duduk dalam mobil kertas kecil yang bertuliskan pensil itu mulai kubaca.
24 Mei 2007
Yan.. aku menyesal baru kenal kamu. Mungkin kalau aku kenal kamu dari dulu sekarang hatimu telah luluh dipelukanku. Atau bahkan kamu sudah jadi istriku. Waktuku terlalu sempit untuk mengenalmu. Walau kamu menolak untuk menerima cintaku. Aku hanya berharap semoga saat aku kembali. Aku masih mempunyai kesempatan untuk meluluhkan hatimu. Karena aku mencintai kepolosanmu. Aku mengerti kenapa kamu tidak percaya aku. Sayang.. waktuku terlalu singkat. Kamu memang wanita yang baik. Makasi ya yan…
I LOVE U
PUTRA
Aku tersenyum. Kertas kugenggam erat dalam tanganku. Jazz hitam melaju cepat meninggalkan bandara. Entah apa yang ada di pikiranku. Tapi aku tak ingin menoleh ke belakang. Aku memandang langit. Dan melirik ke bangku mobil sebelahku. Kosong. Tanpa ada bayangan atau tawa yang meledak. Hanya ada kenangan.
( terima kasih untuk lagu yang kau berikan itu… ;hanya ingin kau tau)