KuHarAP Dunia Tau...!!!!
Pahlawan Hidupku
310107
1;04
Papaku seorang pegawai pemerintah yang bertanggung jawab dan mengabdi akan tugasnya. Saat umurku masih bisa dihitung dengan jari tanganku. Aku masih bisa mengingat kalau Beliau rela untuk menggedor pintu Rumah kami saat mentari sudah mulai bersinar dan kembali untuk menjalankan tugasnya beberapa jam setelah itu. Demi lembaran – lembaran kertas yang bisa membuat cacing di perutku dan mamaku tertidur pulas. Aku masih bisa membayangkan bagaimana lembut jari papaku membelai dan mengecup keningku sampai akhirnya aku tersadar dari mimpiku dan menangis. Papa saat itu begitu kuat menerpa badai hidup, untukku dan untuk mamaku. Aku masih bisa mengingat saat aku masih berpakaian putih merah, berdasi dan berkuncir dua, saat dimana aku benar – benar merasa kalau dunia yang penuh dengan manusia seumurku begitu menakutkan, Beliau dengan sabar menghilangkan rasa takutku hingga beliau rela meninggalkan tugas dan menemani hari pertamaku bersama manusia sebangsaku saat itu. Saat itu aku merasa Beliau adalah Pahlawan yang menyelamatkanku dari manusia – manusia aneh yang juga berpakaian putih merah. Ingatanku juga akan selalu mengukir kebahagiaan yang terasa saat Papa menghadiahkan sepeda dengan keranjang kecil berwarba hitam itu. Rasanya seperti memiliki kaki untuk mengelilingi dunia. Aku begitu gembira. Walau harus melihat buah hatinya penuh luka dan selalu berlinang air mata ketika kembali ke rumah, papa tetap tertawa dan mengatakan kalau aku harus tetap bisa menaklukkan sebuah benda mati yang sama – sama mempunyai dua kaki sepertiku. Aku tak peduli dan tetap berlinang air mata di ketiaknya sampai membasahi kaus garis – garis kesayangannya. Dan dengan sabar ia selalu membelai rambut panjangku. Aku tidak akan pernah melupakan kenangan manis itu. Kenangan terindah tentang seorang pria dengan sayap baja yang begitu mencintai darah dagingnya sampai harus memotong sayap itu demi kelangsungan dua nyawa.
Tahun itu berlalu begitu indah, sangat berbeda dengan tahun berikutnya yang mulai digoncang oleh daun cemara yang sedikit tidaknya membuat pilar - pilar rumahku bergoyang dan runtuh perlahan sampai tahun – tahun berikutnya. Ketika papa semakin berbakti dan menjalankan tugas begitu taat, ketika aku sudah mulai merasa beliau tidak pernah membelai dan membuatku terjaga dari tidur pulasku lagi. Datang seorang adam yang membuat keluarga kecil kami menjadi terpenjara dalam ruangan yang berbeda untuk selamanya. Sekat antara aku , papa dan mamaku begitu tebal dan runcing. Seperti lintah yang perlahan menghisap darah kami hingga kami mati. Entah apa sebabnya, aku tidak bisa menjabarkan hanya dengan genderang telinga yang teriris, apa karena kebutuhan akan lembaran kertas, kebutuhan rohani ataukah kebutuhan jasmani yang tidak tercukupi sehingga membuat posisi adam menjadi belati tajam bagi ke dua orang tuaku. Aku sudah bisa merasakan itu, saat melihat tatapan papaku yang kosong dan tidak peduli padaku seperti dulu lagi. Ia seperti tertahan oleh batu berat. Air matanya seperti beku saat menatap mataku menunggu kepulangannya setiap bulan bersinar di depan kamarku. Rasa ketidak pedulian papaku membuatku merasa kecewa dan mencari kehangatan dari Mamaku dan sang Adam. Papaku semakin berpaling tapi ia tidak menjauh, hanya berpaling dan tidak perduli akan keberadaanku. Sampai suatu saat aku melihat air mata Papa mencair dan menetes untuk pertama kalinya. Aku mendekati beliau dengan rasa takut dan terdiam seperti patung orang – orangan sawah tanpa tiupan angin.. Aku ingin bertanya mengapa meneteskan air mata yang telah beki itu, apakah aku melakukan kesalahan papa? Beliau hanya terdiam dan mematung. Tanpa reaksi ataupun emosi. Jawaban dari air mata itu baru kudapatkan setelah aku berumur tujuh belas tahun.
Semenjak itu hubungan antara aku dan papa semakin menjauh. Seperti ada sungai besar penuh perahu dan ikan yang menghalangi. Sampai akhirnya hari itu tiba, hari dimana Adam melepaskan petaka dan membuat percikan petaka itu melukai hati, dan jiwa aku, papaku dan mamaku yang telah terkoyak oleh ego kami masing – masing semenjak adam mengetuk pintu rumahku bertahun – tahun yang lalu. Saat itu beliau begitu mendukungku, membantuku menopang punggung dan bahu, mempertaruhkan segala apa yang tersisa dari tubuhnya yang telah rapuh dan tua. Aku merasa Pahlawan itu telah kembali dan menjadi bagian dari hari – hariku lagi. Seperti pisau bermata dua, Satu sisi petaka itu melukai batinku dan sisi lain menoreh urat nadi papaku. Aku tidak pernah sadar akan hal itu dan selalu menganggap Papa adalah Dewa yang senantiasa menerima segala kenakalan otak dan perbuatanku saat aku mulai dipenuhi oleh jiwa mudaku dan amarah yang menyala. Masih kuingat dengan jelas saat itu, saat aku diterpa masalah terbesar tahun itu yang kubuat untuk menyelamatkan iris dan mempertaruhkan nama belakang papaku. Saat itu mataku terlalu buta akan madu yang disodorkan iris dan melupakan racun yang dapat membuat jalan hidupku ke depan mati dibuatnya. Dengan rasa egois dan kemunafikan madu itu berusaha kupertahankan. Dengan penuh amarah beliau menasihatiku saat itu tapi tetap memelukku saat tubuhku kedinginan tertidur di kursi kayu dengan nafas yang terengah – engah akibat dari racun ayng kulihat seperti madu karena kebodohan jiwa mudaku. Tapi apa yang terjadi?? Aku membuat beliau begitu kecewa dan dengan hasil yang kosong dengan iris. Apa sebenarnya arti iris buatku? Ia hanya seonggok otak penuh maksiat dan gelora jiwa yang tidak akan padam akan gemerlapnya kehidupan. Iris akan selalu tertawa dan menawarkan manisnya madu yang bisa ditafsirkan apa pun sesuai keadaan. Ketika aku sadar, Yang terjadi aku semakin terperosok ke jurang dengan pegangan tangan papaku yang penuh akan darah. Beliau tetap berusaha menarikku ke atas jurang. Tanpa berniat setitik pun melepaskan. Apa yang iris lakukan?? Ikut menolongku?? Tidak... Ia terdiam di tepi dan hanya memandang tanpa arti. Walau aku sudah membagi kepingan hati terbesar untuknya, bagi seorang iris itu hanya debu. Aku benar – benar menyesal, Maafkan aku papa. Kumohon maafkan kesalahanku yang berani mempertaruhkan nama belakangmu demi suatu hal yang ternyata meninggalkan aku di tengah lautan sendirian. Jika saat itu aku mengerti dan bisa membaca hari ke depan. Jika aku bisa mengulang, aku akan berusaha membuat hal terbaik untukmu, berada disisimu, membantu mengangkat beban di pundakmu, menangis di ketiakmu dan paling tidak bisa membuatmu membusungkan dada saat manusia lain menanyakan namaku. Jika saat itu aku tau bahwa amarah itu dan nasihat itu adalah yang terakhir untukku. Maka hari itu aku akan datang dan menemani kerapuhanmu, aku ingin memelukmu dan mencium pipimu. Menunjukkan rasa sayang yang mungkin terlupakan. Berada saat engkau begitu lelah akan kenakalan dan keras kepalaku. Mendengar saat engkau bercerita tentang belati yang telah menghabiskan darahmu. Atau melihat saat tetes keringatmu harus ditukar dengan lembaran kertas pemuas nafsu manusia pemakan manusia itu. Aku menyesal aku tidak pernah ada dan menyadari betapa berat hidupmu dan betapa engkau begitu menyayangiku. Aku menyesal aku selalu mengecewakan semua impian dan tujuan hidupmu. Maafkan aku papa....
Saat ini umurku mencapai dua puluh tiga dan papa menganggap aku telah kuat berdiri tegak dan lebih memilih berteman dengan tanah daripada kembali ke rumah. Sementara aku masih tetap duduk dan terdiam di atas gundukan debu kematian dalam penyesalan tak terlupakan dan baru menyadari kalau seorang ayah memiliki surga tidak hanya di telapak kakinya tapi juga di hati dan jiwanya.
(Semoga dimanapun papa berada sekarang, papa bisa memaafkan dan memeluk kesendirianku)