Story Of Life

Wednesday, April 04, 2007

SeNyUm SeSaAt DaLAm GeLaP maLAm


9 menit 3 detik Kenangan

030407

21;33




Daratan telah tersaput malam

Aku terpaku memandang langit kelam

Raga terjatuh dan terbenam

Dunia runtuh jatuh menikam


Tiba – tiba suaramu terdengar menyapa

Setelah sekian lama tak bersua

Kali ini apa rencana sang pencipta

Mengapa malam kulihat menjadi berwarna


Diantara linangan air mata aku tertawa

Aku tak ingin berharap asa

Setelah melewati kejamnya realita

Pengalaman harus menjadi guru yang berharga


Apalagi laut menjadi halangan

Aku harus menghapus khayalan

Membesarkan hati dan berterima kasih pada tuhan

Telah menggoreskan walau hanya pintu perkenalan


(……. 225421411,thanks yahhhh….. maaf jika ada kesalahan, semoga tuhan selalu memberi kebahagiaan)

Untuk Mama

250307

23;20


Pertengahan tahun ke tujuh

Tahun babi api

Langit semakin menggemuruh

Keadaan tetap membara hawa dengki

Entah untuk kebaikan atau kehancuran

Aku tetap menarik beban

Tanpa peduli retaknya lingkungan

Semakin tenggelam ke dasar lautan

Aku hanya ‘malaikat’ yang terdampar

Dengan sayap robek terkoar

Terjatuh dengan raga tanpa sehelai cadar

Aku bak kertas putih tanpa noda

Lahir dari rahim seorang hawa

Atas anugrah maha pencipta

Tapi mengapa setelah dua abad melihat dunia

Banjir kian menggenang dan membawa

Semua budi yang tertanam di hati ibunda

Tetap ada di dekatku , aku memohon

Maafkan dosa dan khilafku, aku memohon ampun

Karena di dasar lubuk hati

Engkau sangat berarti

Walau dunia tidak bernafas lagi

(saat aku kembali duduk di tengah runtuhan rumah, aku ingin pulas dibelai kasih sayangmu mama)

Catatan SaNg Peri



ini hanya catatan sang peri saat februari datang menemani rasa sepi

yang dituliskan lewat goresan puisi


Untuk Sahabat Sejati

010307

20;05


Embun pagi membuatku termenung

Duduk melipat kaki dengan langit penuh mendung

Di depan kamar menghadap kebun

Tanpa satu jiwa yang telah terbangun

Aku ingin mengadu padamu

Teman sekamarku

Saat ini hanya kamulah satu- satunya sahabatku

Yang berusaha menguatkan pribadiku…

Mengerti lemahnya nafas jiwaku

Saat aku teringat papaku

Rinduku akan belaian mamaku

Dan saat jiwaku hancur terkoyak sembilu

Wanita pelindungku berlari meninggalkanku..

Untuk memuaskan ego dan nafsu

Hanya demi melukis warna yang baru

Hatiku begitu terbelah kelu

Air mataku mengalir pilu

Tanpa seonggok kayu

Yang kupakai bertahan di sungai penuh batu

Apa yang harus kutata lagi tanpa sisa ruangan di bumi?

Aku tak ingin menatap pagi

Tanpa “senyummu” wahai sahabat sejati…

(pondok indah, untukMOE sebagai hadiah)



UnToeKm03 PeLindUng MayaKU

Kenangan Hari Minggu


250207

18;19


Percaya atau tidak .....

manusia berubah tiap mereka mengedipkan mata

Aku percaya

Kalau jiwa dan rasa memeiliki relung hati yang berbeda.

Andai saja semua hal bisa kembali bertahta

dan dikilau sinar cinta

Maka saat ini aku akan menjadi gadis pemberi asa

diantara penjaga neraka...


Untukmu

Pelindung mayaku…


Pondok Indah kamar depan jalan

Aku terlena akan kenangan

Minggu Kelabu

Di kamar penuh berdebu

Karena lupa subuh tadi menyapu

Gelap telah menyelimuti langit biru

Dan aku duduk tersedu…

Teman sekamarku… dmana kamu??

Walau angin malam menusuk kalbu

Aku akan tetap menunggumu di depan pintu

Hingga kamu datang dan terpaku

Karena melihatku tersedu

Mengingat lembaran kenangan indah saat aku…

Kamu…

Dan pelindung mayaku…

Tertawa berlindung di atap penuh debu…

Saat

IA

tersenyum meniup lilin itu

Di detik pertama awal subuh itu

Satu tahun yang lalu….

( Pondok indah, kenangan indah, sahabat yang lemah, dan aku yg telah lelah)

jErItAN aNgEL dI pAgi haRI..

Menjelang PaCremationgi Saat Mengingat Tindakan Tanpa Iman

200207

3;58

Saat aku berusaha membangun tonggak jiwa dan pribadiku sendiri, aku merasa benar – benar kosong dan mulai kehilangan arah kembali. Saat ini aku merasa seorang manusia yang telah dua abad berteman dengan kelamnya egoisme pribadi, permainan lidah tak bertulang dan gelapnya neraka yang terasa menjelma di sekitar hawa dan udara lingkunganku saat ini. Bagaimana tidak demikian, aku hanya manusia dengan segala keterbatasan, penuh kemaksiatan dan berbuat tanpa pikiran matang bila matahari telah menjelang. Tapi entah mengapa Dia Yang Maha Tau Segala Apa Yang Ada menguji kekuatan kedua pilar kaki kotorku, dengan cara yang aku tidak pernah bisa pikirkan sebelumnya, seperti aku adalah salah satu insan ciptaannya yang benar – benar kokoh dan siap akan semua hal yang menerpa. Saat hawa hitam otakku, emosi dadaku yang telah kokoh layak batu karang dan hilangnya nalar positif dari intuisi yang telah mencapai puncak dari usia pubertas yang seharusnya bisa ditahan dengan iman yang kuat, tidak dapat dibendung dan telah merajalela bak hama yang menyerang padi yang seharusnya akan panen, BELIAU perlahan – lahan murka dan mengambil semua hal yang ternyata adalah kekuatan yang membuat aku tetap membuka pelupuk mata dan tetap memandang tunduk PADANYA dan besimpuh memohon asa. Bagai terhanyut di sungai dengan arus kuat tanpa perahu, seakan jiwa terombang – ambing karena aku meremehkan kekuatan utama yang begitu membantu. Penyesalan memang ada dibelakang perbuatan. Dibukukuan seperti itu. Seperti apa yang terjadi pada lembar hidupku saat ini. Menyesal dengan kesalahan yang telah berulang kali merobek tangan dan memotong nadi kebaikan dari senyum budi pekertiku.

Aku bukan tak belajar. Bukan juga bodoh. Apalagi tak perduli. Hanya kehilangan nurani. DIA YANG MAHA PENYABAR telah berulang kali menasehati, selalu memberi wejangan terbaik dengan seribu peri, sedangkan aku terpatung tak perduli, memasang kedua daun telingaku seperti mendengarkan, tapi menyelimuti naluri dengan rasa tidak perduli. Hingga tidak ada lagi wejangan dan nasehat tapi asam GARAM lautan yang harus kudulang sendiri sepanjang terik mentari. Sendiri, tanpa ada insan sebangsaku yang mau menoleh dan memberi arti kalau mereka tetap perduli walau tidak bisa mendekati apalagi menyelimuti dan membersihkan hati seorang manusia yang lupa akan tulusnya pribadi. Merasa tersakiti seperti tertusuk belati ibu pertiwi, padahal yang seharusnya ditangisi adalah tubuh yang tanpa imajinasi yang berisi jiwa yang terperangkap di dalam ibu pertiwi.

Selama dua puluh tahun semenjak terlepas dari ari – ari aku menatap mentari, DIA PEMBERI KEHIDUPAN, memberikan kehidupan aku anugerah berlimpah dengan semua kebaikan bak ibu yang memberikan seluruh darah untuk makanan urat nadi di ujung kakinya. Segala tanaman telah ditumbuhkan, pagar telah rimbun menjaga dari dunia luar,ada rumah teduh dan beragam makanan. Seperti nirwana dipinjamkan untuk membesarkan raga insan manusia penerus jaman sebuah keluarga yang penuh harapan kebahagiaan. Seharusnya aku begitu bersyukur dan menundukkan iman. Berbuat dengan tangan kesetiaan dan berjalan dengan keiklasan. Tapi lembaran kertas pembeli kenikmatan telah membuat aku membakar segala budi dan kebaikan. Saat aku sadar semua telah terbang bersama awan, aku hanya bisa menunduk dan memohon belas kasihan. Tapi semua telah tersapu abu hitam dendam keeogisan, memandang dengan tajam dan tidak mau mengulurkan tangan. Waktu semakin berputar, usia semakin dipertaruhkan, tapi aku si pembuka jalan harus menutup lebarnya jalan, karena aku harus menutup lembaran yang aku bakar dan membersihkan semua dengan ketulusan iman.

Aku tidak menangis, mengiba atau memaki.Air mata tidak boleh diteteskan lagi hanya karena pribadi yang tidak pernah belajar. Hanya Menyesal. Semua yang aku beri tulusnya kasih sayang hati akhirnya berpaling dan pergi dengan tujuan dan meninggalkan goresan hitam. Mereka selalu memberi senyuman. Tidak menyalahkan, membenarkan. Tapi kini hanya terdiam.

Papa memilih untuk menjadi penghuni khayangan, mamaku tetap duduk pada dunia ”kemurkaan”, ayah angkatku tetap berusaha memotong aorta jantung kanannya tanpa perduli kekuatan karena kecewa terhadap perasaan cinta dan hidupnya, nenek dan kakekku telah menyatukan garis tangan dan menemukan pohon yang rindang, wanita pelindungku telah menemukan tempat di bawah jembatan yang aman, iris telah pergi dan menemukan kebahagiaan tanpa memberitahu akhir perjalanan, sahabatku telah berpaling dan berjalan mengejar belahan jiwa mereka yang telah menunggu di persimpangan. Teman – temanku hanya menertawakan dan melupakan kenangan kami saat tertawa karena gerimis air hujan, bahkan debu dan goresan pena yang selalu melukiskan tiap detik kehidupan dengan air mata kebohohan kini tak bisa lagi digerakkan. Semua hal seperti menolak untuk tetap berdekatan dengan Aku,insan manusia yang kehilanagan akal untuk memahat jalan ke depan.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali tetap bertahan, berusaha menahan beban dan berjalan tanpa terang di tikungan. Walau sendirian, aku harus mencapai tujuan. Membayar semua hutang dan membersihkan kotoran bayangan. Membuat asap membentuk suatu lukisan. Agar bisa dipaajng dan dipandang. Tidak darah yang berceceran. Tanpa bentuk dan berwarna kelam. Aku ingin menyelesaikan apa yang perlu di jalankan. Memulai semua dari awal. Membuka hati dan membersihkan pikaran. Karena aku ingin bersujud padaNYA, memohon agar aku dikembalikan pa da jalan dimana ia selalu menuntun iman. Bertemu papa dan berserah pada PEMILIK KEABADIAN dengan jiwa kebaikan.

Subuh ke enam

diminggu pertengahan

bulan kedua tahun ke tujuh dengan suara jalan dan kesendirian

lelahnya terjaga karena bingung mencari pertolongan,

tapi malu mengucapkan

karena rusaknya wajah sang perawan

saat aku benar – benar tenggelam

Aku diingatkan

kalau aku menjadi manusia yang kehilangan iman

karena cobaan yang seharusnya menguatkan

dan karena lembaran kertas pengikat ucapan

terhadap manusia yang kusebut teman

Tanpa berfikir kalau akan dikucilkan

Hidup tanpa pikraan

Melihat tanpa pandangan

yang kugambar hanya ujung sebuah bayangan

Membiarkan jalan hidupku jauh dari kenyataan

Walau ayah telah berjalan dengan kesedihan

Karena melupakan SANG PENGUASA KHAYANGAN

Aku diberi dunia penuh cobaan

Kini aku menunduk dan menyerahkan

segala khilaf dan kesalahan

semoga BELIAU MENUNJUKKAN JALAN PENENTRAM IMAN